Hari ini, 28 April 62 tahun yang
lalu, telah mati secara jasad seorang sastrawan Indonesia yang besar dalam karya
dan merecoki pikiran kita hingga saat ini karena gaya juga cerita hidupnya
yang sangat bernilai. Adalah Chairil Anwar nama dari seniman kelahiran Sumatra
Utara, 26 Juni 1922 yang dikenal dengan sebutan si binatang jalang lewat
karyanya “Aku”. Chairil bersama Asrul Sani dan Rivai Apin dinobatkan oleh H.B
Jassin sebagai pelopor Angkatan 45.
Masih pentingkah kita mengenal Chairil
Anwar? Jawabannya tentu saja iya. Chairil adalah satu dari sekian banyak nama
besar yang malang melintang di dunia sastra di Indonesia dan dianggap sebagai
sastrawan pertama yang menyuarakan dalam karya-karyanya gaya baru yang kental
dengan nuansa bebas merdeka. Puisi Chairil Anwar "Aku" dianggap fenomenal karena
menjadi puisi pertama yang menggambarkan manusia-manusia baru setelah
Indonesia merdeka, yang tidak terjajah dan bertuan, kecuali pada kehendak diri
sendiri.
Chairil Anwar adalah manusia yang
menempatkan kebebasan berekspresi dan berekspektasi terhadap situasi dan
kondisi di atas persoalan-persoalan lain dalam hidupnya. Chairil dikenal
urakan, tidak teratur, sering kekurangan uang dan sakit-sakitan. Mata Chairil
selalu merah dan bagi kebanyakan orang menganggapnya menyeramkan. Chairil Anwar
adalah gambaran manusia yang memandang “cukup” sebagai ukuran dalam hidupnya,
dan tidak pernah berlebihan dalam hampir semua hal. Chairil menerjemahkan karya-karya sastra asing dan menulis puisi untuk menghasilkan pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Chairil Anwar adalah seorang besar yang tidak
pernah bermimpi besar, Chairil Anwar juga seorang kaya yang tidak pernah
menimbun hartanya tetapi melimpah sendirinya karena karya-karyanya yang justru
besar dan dikenal dunia ketika dirinya sendiri tidak lagi hadir dalam rupa
jasad manusia yang hidup. Chairil Anwar adalah sebuah batu tapal, pijakan kuat
untuk menyuarakan suara-suara pembebasan, kemerdekaan berpikir dan
berpandangan. Sebuah panutan ideal bagi kita yang mungkin kini sadar kehilangan
nilai paling sederhana dalam kehidupan, yaitu kejujuran.
Chairil Anwar dan Maluku
Sudah menjadi agenda tahunan Bengkel
Sastra Maluku setiap tanggal 28 April untuk memperingati hari Kematian Chairil
Anwar. Tahun ini seniman-seniman Maluku di Ambon kembali berkumpul, kali ini
berpusat di Ruma Beta, sebuah rumah budaya orang Maluku untuk membacakan
kembali karya-karya Chairil Anwar.
Bagi seniman dan pemerhati sastra
di Maluku, Chairil Anwar memiliki tempat yang istimewa karena dirasa
menghidupkan budaya dan kehidupan orang Maluku setidaknya dalam karya besarnya "Cerita Untuk Dien Tamaela". Chairil Anwar tidak pernah datang berkunjung
langsung ke Maluku semasa hidupnya, tetapi kedekatan tersebut tercipta dari cerita-cerita hidupnya bersama Des Alwi dan kedekatan emosionalnya dengan perempuan
Maluku bernama Dien Tamaela yang dijabarkan oleh Sjuman Djaya dalam karya
Aku-nya.
Chairil dalam karyanya yang
kental dengan kemalukuan tersebut menyebut berkali-kali kata Pala dan pantai,
ritual-ritual adat dan cerita asal muasal orang Maluku juga tergambar jelas
dalam skenario yang ditulis Sjuman Djaya sebagai cerita di balik lahirnya puisi
sebuah nama tersebut.
Tahun ini adalah tahun ketiga
peringatan Hari Kematian Chairil Anwar di Ambon dan seperti biasa para seniman
sastra membacakan kembali riwayat sang penyair, membawakan kembali karya-karya Chairil Anwar seperti "Aku", "Doa", "Senja di Pelabuhan Kecil", "Yang Terampas
dan Putus", "Kerawang Bekasi", dan lain sebagainya, mendiskusikan kembali sosok
Chairil Anwar baik sebagai pribadi maupun atas karya-karyanya. Ada dua hal
yang istimewa dari peringatan Hari Chairil Anwar tahun ini di Maluku. Yang pertama adalah karena Ruma Beta juga kedatangan tamu anak-anak kecil dari
Gunung Mimpi; sebuah komunitas anak-anak dari gunung yang belajar dan juga
cinta akan sastra. Satu lagi, puisi "Cerita untuk Dien Tamaela" yang dibacakan dalam
tujuh bahasa yaitu Belanda, Inggris, Spanyol, Jerman, Hawaii (bahasa Asli), Kei
(bahasa Asli Kepulauan Kei – Maluku Tenggara), dan bahasa Indonesia.
Beta Pattiradjawane
jang didjaga datu datu
Tjuma satu
Beta Pattiradjawane
kikisan laut
berdarah laut
beta pattiradjawane
ketika lahir dibawakan
datu dajung sampan
beta pattiradjawane pendjaga hutan pala
beta api di pantai,siapa mendekat
tiga kali menjebut beta punja nama
dalam sunyi malam ganggang menari
menurut beta punya tifa
pohon pala, badan perawan djadi
hidup sampai pagi tiba
mari menari !
mari beria !
mari berlupa !
awas ! djangan bikin beta marah
beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kirim datu-datu !
beta ada di malam, ada di siang
irama ganggang dan api membakar pulau ……
beta pattiradjawane
jang didjaga datu-datu
tjuma satu..
Chairil Anwar adalah untuk sebuah
nama yang mengingatkan kita bahwa hidup terbaik ternyata adalah berkarya atas
kebebasan dan kemerdekaan diri sendiri, bukan untuk hal-hal lain yang ternyata
mengurangi nilai. Hidup Chairil memang sakit, sakit-sakitan di mata orang, tapi
tidak untuk dirinya karena sebagai manusia dia memiliki apa yang didambakan oleh
semua orang yang akhirnya menjadikannya sebagai panutan hari ini di atas sekian
nama-nama besar di dunia sastra Indonesia. Chairil Anwar menjadi Rock and Roll sama seperti Kurt Cobain,
Jim Morisson, atau banyak orang lainnya yang diidolakan dan menjadi nabi untuk
banyak orang. Lalu bila kita harus bertanya kenapa, menurut saya jawabannya
adalah kejujuran. Sikap jujur membentuk kekuatan tersendiri dari Chairil juga
orang-orang lain sepertinya, sesuatu yang sungguh menjadi pertanyaan besar
dan barang langka bagi kita hari ini. Selamat hari mati Chairil, engkau mati
secara jasad, tapi tidak dalam jiwa dan karya. Mari terus mengingat dan
mengenangnya. Hormat.
2 komentar:
jadi sedih mengingatnya. salam kenal..
salam kenal.
chairil nampaknya tidak ingin kita bersedih untuknya :)
Posting Komentar