Senja Merah


Tidak ada lagi yang lebih indah setelah kusaksikan senja merah merekah dimatamu
Tidak ada lagi sesudah itu

Didepan pagar rumahmu kubawakan puisi
Syair cemas apa kita akan bertemu kembali
Melawati satu hari bersama tanpa pernah bertanya kapan hari ini akan usai
Lalu kita tak akan berpisah lagi

Aku melihat temanku, kesendirianku memanggil-manggil
Tapi aku masih tidak peduli padahal hujan sudah membuatku menggigil

Aku basah tak berdaya dihadapanmu
Dibalik tirai kulihat mukamu cemberut ingin menggerutu
Angin membawa pesanmu padaku dengan kaku
Katamu kau tak ingin berpisah walau sudah harus jadi begitu

Tidak ada lagi yang lebih indah setelah bersamamu sepanjang hari
Tidak ada lagi setelah kau pergi

Diujung jalan aku membawa serta air mata
Mengumandangkan orasi perpisahan yang kudengar sendiri saja
Pelan-pelan kuucap pesan keramat; jaga baik-baik hatimu disana
Semoga bisa cepat kita berjumpa

Aku melihat hidupku, kesendirianku tersenyum gilang gemilang penuh kemenangan
Tapi aku masih tidak peduli karena kutahu dirimu mencintaku bukan kepalang

Aku berada disini, tempat semestinya kita ada
Dipesisir tempat kita jatuh diatas pasir dan meminang buta
Matahari tergelincir berganti bulan yang tidak akan berubah rupanya meski dirimu tiada
Kataku kau adalah alasan untukku bersuka cita tanpa takut menjadi tua dan pelupa

       Tiada lagi setelah senja merah itu merekah dimatamu.
       Hatiku mati padamu setelah itu

Sebuah Catatan dari #SerdaduKumbang

Tadi sore akhirnya saya menonton Serdadu Kumbang, film yang saya terima sebagai satu lagi film Indonesia yang berkualitas. Film ke-5 Alenia Pictures ini bagi saya mengesankan karena selain seperti biasa berangkat dari realitas sosial, mengusung nilai-nilai budaya dan menjadikan pendidikan sebagai salah satu muatan utama, film berlatar kehidupan masyarakat Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini adalah film yang menguras emosi, penonton kerap diajak tertawa terbahak-bahak mengapresiasi bagian-bagian konyol sekaligus juga mengikis rasa simpati yang tidak kurang bisa berujung dengan air mata.

Sejak awal saya memang sudah terkesima dengan film besutan Ari Sihasale tersebut. Padang ilalang, anak laki-laki berkuda, juga pohon besar dengan latar langit dan pegunungan di bagian awal film tersebut seketika mengembalikan ingatan saya pada film Denias, Senandung Negeri di Atas Awan, yang juga kurang lebih menghadirkan keindahan yang sama. Apa beda Papua dan Sumbawa? Keduanya sama indah, keduanya sama istimewa, keduanya sama Indonesia, dan terlebih keduanya memiliki realitas sosial yang sama tertinggalnya setidaknya dari frame kedua film tersebut. Maka begitulah kemudian bagi saya Papua dan Sumbawa tidak ada bedanya.

Ame, Acan, dan Umbe, tiga sekawan dalam cerita Serdadu Kumbang bagi saya adalah satu lagi cerminan yang merefleksikan kehidupan anak Indonesia di daerah yang menghadapi realitas kehidupan serba berkekurangan ketika impian, cita-cita, dan harapan adalah pedoman hidup untuk terus melangkah maju menghadapi segala persoalan yang ada. Jauh dari sarana prasarana pemenuhan kebutuhan hidup memanglah adalah sebuah tantangan terlebih lagi ketika didekatkan pada realitas betapa majunya dunia hari ini dengan segala kecanggihannya. Namun bercermin dari pengalaman dan apa yang ada, saya percaya bahwa sarana prasarana bukanlah satu-satunya faktor utama untuk mencapai keberhasilan, karena sesungguhnya ketiga faktor penggerak daya hidup yang telah saya sebutkan sebelumnya di ataslah yang memiliki kekuatan lebih di hidup manusia. Ada banyak anak petani jadi pembesar di bangsa ini, ada banyak anak kampung jadi petinggi di kota, dan banyak lagi contoh lain yang bisa lebih spesifik sehingga keyakinan bahwa akan selalu ada takdir baik untuk mereka yang berusaha terlebih-lebih di tengah kesulitan adalah benar, saya menemukan penegasan terhadap hal tersebut di dalam Serdadu Kumbang.

Pattimura (Tidak) Butuh Starbucks



Ini adalah postingan balasan untuk “Starbucks UI” yang diposting oleh Arnellis beberapa hari yang lalu. Di postingannya tersebut kawan saya menulis tentang kegamangannya menyaksikan kehadiran sebuah gerai kopi internasional dengan tulisan hijau menyala “Starbucks Coffee” yang menempel layaknya parasit di bangunan baru Perpustakan Pusat Universitas Indonesia yang konon katanya adalah perpustakaan terbesar Se-Asia Tenggara.  

Dalam postingannya tersebut, Arnellis mengutip pernyataan saya betapa Universitas Indonesia seharusnya menyandang berat beban persoalan bangsa hari ini, khususnya di bidang  pendidikan yang hingga kini masih saja jauh dari harapan masyarakat. Keharusan ini bagi saya lahir dari konsekuensi Universitas Indonesia yang menggunakan “Indonesia” sebagai nama yang dengan sendirinya menjadi semacam legitimasi atas keseluruhan wilayah dari Sabang sampai Merauke. Lepas dari latar belakang sejarah bahwa kampus biru tersebut adalah universitas pertama di Indonesia dan berkedudukan di ibu kota negara sehingga memperoleh penamaan eksklusif tersebut, identitasnya tetaplah perlu diperbaharui agar mampu menjawab realitas sosial kekinian.

Pandji Pragiwaksono di Ruma Beta bulan ini.


katakatakusampan

Malam berubah menjadi dingin
Menyekap tiap inci tubuh yang masih mau mengelak
Aku telah berdusta
Lemah ini harusnya aku ucap

Berpisah denganmu adalah sengsara,
berjarak darimu seperti tak berdaya,
berjauh darimu lebih dari celaka
Aku telah berdusta dengan luar biasa

Di muka pintu aku tabur ajimat,
di depan kaca aku ucap mantra
Tapi semua hanyalah pura-pura,
aku tak lebih dari pembohong besar

Manisku sayang
Di manapun kini mimpi membawamu berlayar dan jarak kita milyaran jumlahnya,
aku yakin kau merasa
Aku merindu

Rindu sudah jadi lautan
dan malam dan dingin tak lagi mampu menahan
Aku ingin berlayar,
mengayuh sampan menuju rumahmu

Manisku sayang sudah aku mengayuh,
sudah jauh bertaruh di lautan.
Dua kali aku tersapu badai tapi aku masih bisa bangun lagi.
Bila pagi tiba, aku ingin ada di pelukmu.

Kata-kataku adalah sampan.
Tiba di matamu, terbaca olehmu dan simpanlah sehari penuh.
Tanpa dusta, bukan untuk jadi ajimat apalagi mantra
Tapi untuk sabar menunggu tiba waktu bersama. Sebenarnya.

---
Ambon, Juni 2011

#Ambon Kota Yang sedang Bersolek

Foto: Daniel PG
Ambon adalah kota besar? Bagi saya jawabannya adalah iya. Ada banyak alasan kemudian yang bisa menjadi alasan mengapa Ambon dapat disebut sebagai kota besar. Lepas dari tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi lebih dari satu dekade silam, kota Ambon kini giat membangun—dipoles sana sini dan hal tersebut adalah sebuah bentuk nyata mempersiapkan Ambon untuk kembali mengecap kejayaan yang pernah diraih sekian puluh tahun silam.

Sebagai sebuah kota pelabuhan, Ambon memang merupakan kota yang ramai. Perdagangan adalah nadi dari kehidupan masyarakat. Hal tersebut tentunya ditunjang sepenuhnya dengan tingkat konsumsi yang sangat tinggi dari masyarakatnya. Sebuah istilah populer di kalangan masyarakat Maluku khususnya perkotaan yang mengisyaratkan betapa gengsinya orang Maluku (bukan hanya orang asli tapi berlaku untuk semua orang yang menetap di Maluku, khususnya Ambon) terhadap konsumsi, yakni “biar tulang balakang patah asal jang muka tabale”. Pembangunan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan konsumsi di kota Ambon kini pesat dilakukan hal tersebut bagi saya adalah sebuah langkah positif tapi perkembangan tersebut juga secara serius harus diikuti oleh peningkatan sumber daya manusia agar terjadi sinergi yang positif, bukan sebaliknya “manusia” Maluku menjadi terjajah oleh pesatnya pembangunan tersebut.

#17an Anak Indonesia

#JamaahAfterParty

Mereka menyebutnya “after party”, sebuah sebutan yang saya anggap asbun dan tanpa tendensi apapun. After party ini bukan sebutan milik sekelompok orang yang sibuk mencari tongkrongan untuk sekedar meluruskan kaki dan merenggangkan saraf-saraf yang tegang selepas lari malam dari satu klub ke klub yang lain atau untuk sekelompok orang berbaju dan bergaun pesta, tapi milik sekelompok orang yang “ga doyan” pulang setelah #obsat bubar.

Di Obsat saya bertemu dengan banyak orang baru, mereka yang kini tidak bisa begitu saja saya ke sampingkan dan sudah saya yakini sebagai bagian dari masa depan setidaknya saya yakin akan kembali berkumpul bersama mereka. Saya menyebutnya Jamaah After Party, sebutan yang meminjam istilah yang sudah ada, ditambah fakta bahwa mereka bukan satu dua orang, tapi beramai-ramai sehingga lebih cocok disebut jamaah.

Obsat adalah satu dari sekian pilihan yang lahir dari keniscayaan bahwa hari ini social-media memiliki peranan penting dalam kehidupan, setidaknya bagi mereka yang menjadi pengguna atau lebih spesifik lagi disebut penggiat internet, dan memiliki kesamaan persepsi serta kebutuhan mengaktualisasikan diri juga mentransformasikan pemikiran dalam rupa kumpul-kumpul dan ngobrol-ngobrol. Obsat memang serupa party, banyak orang berkumpul sambil makan-makan (gratis) juga pilihan “obrolan” sehingga memang benar-benar mampu menjadi pilihan melunasi kesumpekan ibu kota serta waktu yang mahal untuk bisa bertemu offline bukan online. Obsat dalam pemahaman saya kemudian setelah beberapa kali datang memang akhirnya tidak lebih dari meeting spot, pilihan hang out yang berisi untuk mereka yang sudah saya sebut terlebih dulu di atas. Dari aktivitas itu saya kemudian mengenal beberapa dari mereka yang seperti telah mengklaim diri sebagai warga #obsat dan menjadi Jamaah After Party.

Jakarta, Kota Kemanusiaan

Bagi saya, berkunjung ke Jakarta adalah mengunjungi metro mini dan kereta ekonomi. Tanpa mengunjungi keduanya, saya merasa tidak benar-benar datang ke Jakarta. Di metro mini dan gerbong kereta ekonomi, saya merasa Jakarta adalah kota yang memanusiakan manusia. Jakarta adalah kota yang keras, begitu pencitraan banyak orang yang diberikan kepada kota Jakarta. Namun, bagi saya Jakarta adalah kota kemanusian, sebuah bentuk lain yang tidak lazim untuk disadari dan dipandang layak untuk dijadikan falsafah hidup oleh banyak orang yang berdiam di Jakarta.

Di metro mini datang bergantian segala macam tukang, mulai dari tukang minuman dengan gaya “pokari-mijon” yang khas sekali, tukang tisu, ikat rambut, kacang, permen sampai lem lengkap dengan sesi peragaan dan uji coba. Juga pengamen mulai dari yang kecil hingga yang besar—yang lelaki hingga perempuan, begitu juga di gerbong kereta ekonomi.

Dulu ibu selalu mengingatkan saya untuk menempatkan dompet di kantong celana bagian depan ketika berada di Jakarta, khususnya di tempat umum yang rentan kriminalitas seperti terminal dan stasiun. Waktu itu kali pertama saya berkunjung ke Jakarta yang dalam versi saya bukan untuk kegiatan tertentu.  Fasilitas penunjang seperti transportasi dan akomodasi disediakan, tapi untuk “merantau” dalam waktu yang relatif tidak ditentukan. Ibu cemas melepas saya ke Jakarta waktu itu, sehingga meski tidak pernah hidup di ibu kota negara tersebut dia begitu fasih mengingatkan saya akan banyak sekali kemungkinan yang harus saya waspadai. Seminggu saya ingat, setelah itu tidak ada lagi “pesan” darinya karena saya mampu meyakinkannya bahwa Jakarta adalah kota yang aman.

Kepada Perempuanku


aku hanya ingin berlari, menari
membentang tangan seperti bocah yang sibuk mencari seimbang karena takut terjatuh
melewati alang-alang, melompati batu-batu tajam, menuruni curam lalu membasuh kaki dan lupa diri
untuk itu aku mengundangmu, untuk itu aku memintamu, untuk itu kekasih

aku tidak butuh bisa makan enak
aku tidak butuh menjadi kaya raya
aku hanya butuh nanti bisa punya tidur yang nyenyak
setelah tua dan mati dengan karya

denganmu …

aku tetap ingin menjadi anak kecil yang lugu
yang tidak pernah ragu pada angin untuk bisa terbang
yang bisa terus menyanyikan lagu
yang bisa tetap percaya matahari bisa dipetik dengan tangan telanjang

denganmu …

aku ingin hidup yang manis
yang tidak peduli setan dengan apa itu nanti
yang bisa tetap tersenyum dan bertukar peluk meski ternyata hidup kita tragis
yang bisa tetap menerima sakit sebagai nikmat yang paling pasti

tapi bila ingin kau pergi, pergilah
aku hanya akan menangisimu satu kali lalu setelah itu sudah
tapi bila ingin kamu meninggalkanku
aku juga akan meninggalkanmu

aku akan masuk ke hutan lalu turun ke lembah sunyi
menukar duka dengan suka
aku akan menyusuri pesisir lalu menerjang ombak sendiri
menyiram luka dengan cuka

denganmu aku hanya ingin yang sederhana
tanpa ingin menjadi pemenang kecuali mati dikenang
danganmu aku hanya ingin yang biasa-biasa saja
cukup melihatmu menyulam baju anak-anakku dengan keringat yang tak mengkerut saja,
aku tenang-aku senang

---
Ambon, Juni 2011
*)semacam surat penebusan dosa untukmu dan anak-anakku

Balada Para Penipu


 
foto : Susianti Inoel
jangan hidangkan untukku koran di atas baki
tapi berilah aku semangkuk bubur kacang merah untuk sarapan pagi
jangan gelar taman di atas selimut tidurku
itu hanya akan membuat kembang-kembang semakin belagu padahal kita hanyalah akan jadi gelugu

ada yang meneropong rembulan
yang memagari singgasananya dengan gamang
ada yang bersengketa dengan tuhan
yang mencuri tanah-tanah yang leluhur tempat ludah sirih pinang membuat sarang

rebana ditabuh mengalunkan repsodi
tubuh-tubuh kurus duduk mengantri kantong-kantong imaji
doa-doa yang dikira mustajab ternyata tidak lebih dari sekedar janji-janji
lakon abunawas ini tidak lebih dari parodi

ini adalah balada para penipu
cerita tentang mereka yang merampok dari hulu hingga hilir
yang memaksa menanam mimpi dengan tipu
yang meniduri kemanusiaan dengan sembilu

jangan beri lagi aku sedih
sebab telah kusaksikan ribuan orang-orang yang mati
jangan paksa lagi aku merasa pedih
sebab kini telah kuajarkan anak-anakku menghunuskan belati

hei… para penipu
yang menyulam kepalsuan di dalam berita koran
berhentilah menyemburkan gincu
kami tak butuh taman dengan kembang-kembang palsu

telah tertulis untukmu kematian di atas telapak tanganku
bukan demi gizi untuk tanah-tanah yang kau buat kering kerontang
tapi untuk api-api yang menyala dan berteriak bebaskan dari jiku-jiku
ini adalah balada cerita anak dalam yang mengutuk janji-janji harap gampang

telah tergambar untukmu kesaksian di atas sekujur tubuhku
bukan karena aku mau dikenang dan mati sebagai pejuang
tapi karena untuk hidup mulia memang harus bisa berjibaku
aku akan terus mengatakan benar meski akhirnya harus mati malang

balada para penipu
pendongeng-pendongeng cerita dusta
tuhan sedang pura-pura kalah dan menutup mata
tapi ingatlah tuhan tidak lupa ingatan apalagi buta

---
Ambon, Juni 2011
*) untuk berita-berita koran dan teve yang tak ubah seperti sinetron

TITIK O

“Paper Bird” by motulz http://instagr.am/p/FikfO/

Ke mana lagi aku harus pergi
Ketika rumah-rumah terbakar amarah
Ke mana lagi arah untuk aku berlari
Ketika jalan-jalan hanya digenangi darah

Di depan pintu aku melihat kepalsuan terukir di kayu
Terpahat juga di jendela yang membuatnya berubah menjadi kaku
Angin membawa kabar tentang tragedi
Dinding-dinding berbicara dalam ribuan bahasa yang tidak aku mengerti

Untuk apa ada kata merdeka
Bila diri-diri masih selalu mau menjadi yang paling berhak menanam kuasa
Untuk apa ada pekikan kata mari berjuang
Bila ternyata kita setiap hari semenjak lahir telah terus-terusan beradu memasang taruhan demi bisa menjalani perjuangan hidup dengan garang

Burung Pombo bertengger membawa tanda
Sebagai sebuah isyarat bahwa alam tidak akan tinggal diam dan bisa punya suara
Sudah terlalu banyak dusta di antara kita
Yang dibungkus dengan daun pisang, diasar dengan dibara lalu dijepit lalu dimakan dengan air gula

Di mana lagi rumah tempat aku pulang
Ketika rahim ibu telah disarangi dengan timah panas
Di mana lagi liang lahat tempat nisanku terpasang
Bila selangkangan kini menjadi barang yang dijual murah lalu dicabik-cabik dengan ganas

Dahulu aku mendengar dongeng
Lalu aku percaya dan menuankan kebebasan
Meyakininya sesakti belati yang keluar dari moncong-moncong senapan untuk membela harga diri yang terpasung
Namun kini aku hanya bisa diam memandang kemuliaan
Aku telah melupakan dongeng yang kini terdengar terlalu kekanak-kanakan lalu menggantikannya dengan percaya pada keniscayaan untuk kembali pada kemurnian walau meski aku merasa berada dalam gersang
Samsara di pelupuk mataku, derita di ujung lidahku, tangis di liang telingaku, air mata dalam genggamanku semua kukecap mesra, semesra kukecup bibir perawan yang dibaluri kerinduan

Aku hanya ingin mendengar kebenaran
walaupun ternyata sakit adalah jawabannya
kepahitan memang tidak bersanding dengan kemanisan semacam gula-gula yang dijual di toko, atau kencing manis yang populer meneror atau juga gadis-gadis manis-manis yang dipajang di etalase untuk diperebutkan
sebab kepahitan adalah sebuah pilihan

katakan yang benar walaupun itu pahit
katakan iya kita berbeda lalu mulailah berhenti berdebat dan membuang waktu untuk mencari sebab serta pembenaran
sebab kebenaran datangnya dari langit
anyamlah untuk menjadi  alas tidur sekaligus selimut yang melindungi diri dari mara bahaya, juga mantra-mantra yang ampuh menangkal serangan iblis-iblis yang mengatasnamakan kebenaran

sampai di sini kutunaikan hasratku untuk pergi
kubayar lunas dengan bismilah meski rumah-rumah sudah hangus terbakar dan genangan darah membuatku harus mencetak jejak merah yang menyayat perih
aku tahu di mana aku harus pulang, aku tahu di mana jasadku harus menyatu dengan bumi
di depan pintu dan jendela aku menemukan langit menggemakan haru tasbih

warna kita berbeda, bentuk kita juga berbeda, nasib kita apalagi
tapi tunggulah aku di batas kesakitanmu dengan api di tangan, aku akan menjemputmu maka teruslah suarakan kebenaran meski perih membuatmu sekian kali ingin menyerah
kita akan pergi, pulang dan dikebumikan di hati
Tempat lima dasar, Pancasila sakti kuasa menjadi juara maka usah lagi ada gelisah

mari mati lahir baru
heka leka
lawamena

---
Menteng, 1 Juni 2011 – 05.30
*) ditulis untuk dibacakan dalam obrolan hari lahir Pancasila

Sepeda Malam


Aku pergi tanpa memendam sendu
Aku pulang tanpa merendam rindu
Tergelatak hati di atas jerami
Tergandeng jemari yang lebih dari sebuah janji

Aku kembali merayu, maju
Pelan-pelan mengayuh, jauh
Orang-orang yang menggendong palu dan paku
Kaki-kaki ampuh seperti ingin selalu bertaruh

Kemarin aku memelukmu
Kini yang kupeluk adalah sendiri
Tadi aku melepasmu
Kini aku bersama sepi

Api-api air mata, padam
Kuasa-kuasa remuk, redam
Aku menggilas jalan basah sehabis hujan
Menepi sesekali menebas tuan

Sepeda malam mengayuh merayu
Bergerak maju dan terus menjauh
Di sana hati emosi berpadu
Di sini jarak dan waktu beradu

--- Manisku

(Abdulalie, Juni 2011) 

Burung-Burung Tua


Tidak ada yang ingin kusambangi kecuali butir-butir pasir yang terbang di pesisir
Tidak ada pula yang ingin kusinggahi kecuali angin tipis di lembah yang membui tidur untuk berjumpa denganmu di mimpi
Di perempatan kota yang disesaki bangunan-bangunan tua
Aku seperti mendengar pengajian sebelum adzan ashar tiba
Burung-burung terbang dari laut
Burung-burung tua yang umurnya mungkin sama dengan toko-toko cina yang berjejer
Aku merasa seperti selalu pulang ke hatimu
Rumah tanpa atap, jendela apalagi pintu
Rumah semesta yang lebih dari sekedar rumah dunia
Manisku sayang
Kutitipkan rindu dan doa pada burung-burung yang adalah sama saja untukmu
Ketika mereka datang sambut saja dengan senyum
Pesan tua dari perasaan tua inipun akan jatuh tepat di pangkuanmu
Lalu aku masih akan terus menunggu hingga sore kembali datang 
Dan burung-burung pun kembali membawa bingkisan balasan darimu
Ketika mereka mereka terbang merendah aku tahu dirimu menitipkan sepotong lagi hatimu padaku yang akan kusimpan setia bersama malam.

---




"...."

Telah aku berikan padamu tas merah jambu
Yang disulam sederhana dari ruas-ruas bambu
Sudah aku lekatkan padamu bau bunga matahari
Supaya terang jalanmu setiap hari
  
Aku menulis semacam doa di awal pagi
Ketika lelap membawamu mengayuh menjauh
Kuselip pesan di beranda bersama cinta yang menebar dosa di atas peti mati
Lalu dengan hikmat dan sesederhana itu percayalah kita telah berpisah

Di ujung jalan aku meneguk dingin sendirian
Lurus menghadap angin timur yang mesra memberi gejolak
dari jendela aku mendengar kidung puji-pujian
pantai-pantai menari, bukit-bukit menyala. Aku mendengar pulang di dalam sajak

Ada penyamun membunuh rembulan
lalu mengubur malam yang isinya kesunyian dengan hingar tetawa
aku sudah pangkas rambutku juga bulu-bulu kemaluan
demi bisa berbesar hati dan tidak terkesan jumawa

Anak-anak menabuh tifa
genderang perang beradu bertalu-talu
demikian caranya berlalu
sampai lagi bisa punya cerita

---
(sajak absurd antara botol ijo dan dus merah kuning)

Mengapa Saya Ingin Ikut ACI ?

" Itulah ujian pertama dari detik.com," begitu kata Nico Wijaya mengenai max 500 karakter yang menurut saya bukan sesuatu yang mudah untuk pertanyaan " mengapa harus dibiayai keliling Indonesia gratis ". Dengan agak pusing saya akhirnya menjawab, tapi kurang lebih inilah pandangan saya dalam versi yang bukan max 500 karakter. Aku Cinta Indonesia, karena.... 

Bagi saya keinginan untuk “menjadi Indonesia” adalah sebuah kemutlakan untuk terus mau belajar mengenal, mengetahui, dan memahami lebih jauh perihal Indonesia baik sebagai sebuah bangsa maupun sebagai sebuah negara. Sebagai generasi muda Indonesia yang lahir, besar, dan hidup di Ambon, saya menyadari sungguh bahwa Indonesia adalah gugusan keberagaman, limpahan rahmat tuhan yang maha indah dan sebuah kekuatan besar yang harus terus dikuatkan dalam kerangka-kerangka saling memahami untuk tercipta persatuan dan kesatuan demi tercapainya cita-cita luhur yang menjadikan bangsa-bangsa di nusantara ini bersekutu menjadi satu kesatuan negara Republik Indonesia.

Mengapa saya harus  dibiayai jalan-jalan keliling Indonesia? Jawabannya sederhana. Yang pertama adalah mimpi, sebuah keinginan yang sejak lama ditanamkan dalam diri untuk lebih mengenal lagi Indonesia yang bukan hanya Maluku atau Jakarta, tetapi dari Sabang sampai Merauke. Yang kedua, mengelilingi indonesia adalah sebuah momentum besar yang sungguh saya yakini mampu menguatkan kepercayaan diri untuk terus meneriakkan keindonesiaan, seruan cinta terhadap tanah air, dan perdamaian.

Saya adalah generasi Maluku yang besar di era konflik kemanusian yang pernah terjadi lebih dari satu dekade silam, ketika kemanusian, perdamaian, persatuan dan banyak hal lain menjadi porak-poranda yang atas dasar kepentingan apapun sungguh tidak dapat dibenarkan. Namun, konflik yang pernah menjadi bagian dalam hidup saya tersebut tidak menjadi penghalang saya untuk tumbuh menjadi manusia Indonesia, satu di antara sekian banyak generasi muda Maluku yang keluar dari jerat traumatisme dan tetap mengatakan cinta pada Indonesia dengan sungguh-sungguh lewat segala bentuk aksi.

Di Maluku, kota Ambon khususnya, saya dan beberapa teman menjalankan sebuah kampanye keindonesiaan dengan nama Ambon Bergerak, sebuah semangat kepedulian lewat kreativitas dan budaya. Selain itu, saya juga menjalankan sebuah rumah budaya di bawah Green Music Fondation dengan nama Ruma Beta yang berpusat di Ambon dengan jejaring komunitas kreatif, seni, budaya yang ada di sana maupun di luar Ambon.

Dari social media saya berkenalan dengan beberapa orang yang adalah alumni Aku Cinta Indonesia angkatan pertama, di antaranya Nico Wijaya, Harry Kawanda, Mahesar, Achmad Alkatiri dan Bhaga yang dari merekalah saya semakin bersemangat untuk bisa menjadi bagian dari keluarga besar ACI. Hal ini didasari dengan sebuah keyakinan sederhana betapa sungguh kecintaan terhadap Indonesia ini akan berbuah manis pada waktunya.

Di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki 27–28 Mei lalu saya menjadi salah satu bagian dari pentas musical Beta Maluku bersama Glenn Fredly dan banyak seniman asal Maluku yang merupakan rangkaian kegiatan Indonesia Kita yang digagas oleh Mas Butet Kertarajasa, Djaduk Ferianto, dan Agus M Noor. Acara ini menyuarakan budaya sebagai semangat keindonesiaan untuk kembali menguatkan rasa cinta serta persatuan dan kesatuan Indonesia.

Terakhir bagi saya menjadi Indonesia adalah sebuah pilihan dan sebagai sebuah pilihan. Keindonesiaan sudah sepatutnya bisa dipertanggungjawabkan agar menjadi bagian dari kecintaan yang sungguh-sungguh dan bukan hanya sekedar slogan. Semoga saya direstui melanjutkan perjalanan menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya. Amin.  

tidak ada yang lebih absurd dari "cinta"

Aku telah bersembunyi Dan kesepian ini tak bernama tanpamu Aku telah bernyanyi Dan lagu yang yang aku nyanyikan adalah semacam risalah untukmu Buah buah batu begelantungan Kertas rupa - rupa warna melambai - lambai seakan untuk merasa menjadi daun Apa arti sebatang pohon bila ternayata kekeringan ? Apa arti buah dan daun bila ternayata hanya bagian dari kepalsuan ? Aku menanggalkan hari ini dengan parjumpaan Yang sepertinya telah jauh direncana untuk menyisakan gelisah juga haru yang berkepanjangan Setelah satu garis lurus aku melepaskanmu hilang dalam tikungan Yang menyisakan suara bahwa ternyata semuanya tak lebih dari sekedar menghadapi beratnya menit - menit perpisahan Kita akan tetap beradu pandang meski ada adalah tiada Sebab nyata adalah cerita Diantara belukar rasa yang bagiku terlampau absurd untuk diurai Aku mengeja namamu pelan tanpa maksud berhati - hati Aku jatuh dalam. padamu. Maka beditulah cinta itu begitu absurd bagiku