Menyusun Sejarah Hidup Bersama di Ambon


Ini adalah catatan yang lahir setelah saya membaca tulisan bersambung Gerry van Klinken tentang sejarah bersama di Ambon. Menurut peneliti senior dari Leiden tersebut, terdapat sebuah tabu/larangan perihal menceritakan kembali peristiwa konflik kemanusiaan yang pernah terjadi. Larangan menurut Gerry didasari oleh tiga alasan. Pertama karena cerita tersebut dianggap akan mengganggu keharmonisan hidup yang sudah kembali terbangun dan aka nada saling klaim “siapa benar-siapa salah”. kedua adanya indikasi bahwa bila diceritakan kembali, akan ada institusi-institusi yang akan merasa dipermalukan. Ketiga trauma psikologis dianggap akan terganggu kembali bila peristiwa tersebut diceritakan kembali.

Menurut saya, benar ketika dalam tulisan tersebut Gerry membunyikan solusi betapa pengalaman konflik yang dimiliki tersebut harus dinarasikan dalam satu materi yang dipelajari bersama mulai dari pendidikan formal hingga kehidupan sehari-hari di masyarakat. Upaya menceritakan kembali seharusnya dipandang positif karena dengan begitu ingatan akan menjadi kekuatan untuk mereduksi hal-hal negatif yang serupa (misalnya: provokasi-provokasi menyangkut isu-isu yang sensitif). Dengan menciptakan medium penyampaian cerita secara lebih ideal, cerita konflik yang pernah terjadi tidak akan kemudian menjadi hal negatif melainkan menjadi ladasan berfikir dan bersikap kritis untuk menghadapi kondisi di ambon yang masih terus berkembang.

Gula-gula di Beranda

Aku menyukai ingatan
Suka menyebutnya kenang-kenangan supaya lebih terdengar seperti gula-gula
Kenangan-kenangan bersama ibu
Perempuan yang lebih suka kusebut dalam ingatan sebagai kekasih

Suatu pagi di beranda. Aku ingat
Kami duduk bertukar cerita
Tidak lewat kata, tidak lewat suara. Melainkan lewat tatapan
Mata ngantuk yang basah. Mata kami waktu itu

Bila ibu dengar ada suara anak kecil menangis
Dirinya cepat-cepat langsung menoleh ke dalam rumah
Banyak anak-anak tergeletak di segala penjuru. Salah satunya adikku
Ibu bilang: bila adik menangis, itu tentu bukan karena dia takut. Dia memang hanya butuh menangis sesuai umurnya, tidak seperti aku dan ibu.

Aku menyukai ingatan
Suka menyebutnya sebagai gula-gula meski tentang darah dan air mata sekalipun
Kenangan kenangan masa kecil
Waktu yang menyusut jadi batu. Mengeluarkan air.

Mata aku dan ibu waktu itu. Bicara
Rumah yang kami tinggalkan, bebek-bebek yang dilepaskan ke kali, juga pohon jambu biji yang mati kena bom
Apa kabarnya?
Bapak masih belum menjenguk.

Bila ibu dengar ada suara orang yang datang
Tanpa peduli nafas mereka masih tersengal-sengal. Ibu akan menyambar
“ada kabar apa?”
ibu-ibu yang lain di sekitar juga pasti langsung taru kuping. Tidak ada yang lebih mulia selain kabar, jawaban kepada rasa cemas.

Aku menyukai ingatan
Gula-gula yang tidak pernah habis
Aku dan ibuku.
Waktu itu di penampungan.



bila orang-orang di ambon

bila orang-orang di ambon mulai bergunjing tentang kematian
sekiranya itu tanda akan terjadi apa-apa
apa-apa tentang kekacauan
sendawa yang memporak porandakan langit jadi abu-abu

bila orang-orang di ambon mulai menangis
itu tanda bahwa kekacauan tidak akan pernah pantas jadi makanan hari-hari
hari-hari panjang tanpa kira
lautan jadi merah

bila orang-orang di ambon diam-diam
mungkin tidak ada apa-apa
mungkin waktu senantiasa genap diangka jadi hari-hari
abu-abu di layar merah. padam

bila orang-orang di ambon
yang lahir dari karang sebagai anak tuhan
diam-diam menangisi kematian
mungkin mereka sudah enggan berucap; amin

Ombak-ombak Kecil di Mentawai

senyum anak mapinang menyambut kami
Di balik awan gelap dan mendung kelabu
Ada terang dan harapan baru
Jangan menyerah, sambung asamu
Kau tak sendirian, ku bersamamu

Begitu kurang lebih lirik lagu berjudul harapan yang dinyanyikan Jflow dan Guntur untuk campaign @savementawai yang digerakan oleh green music fondation. Sebelum terjadi bencana gempa dan tsunami di Pandang 2010, secara spesifik saya tidak begitu mengetahui perihal kepulauan yang ternyata elok dan memikat bernama mentawai. Dari berita-berita dan informasi-informasi yang saya telusuri, sedikit demi sedikit saya mengetahui hal-hal menarik yang tidak bisa ditolak untuk menjadikan mentawai sebagai salah satu tempat yang paling ingin saya pijaki. Tuhan maha baik, minggu lalu saya akhirnya berkunjung ke sana sebagai relawan pondok cerdas Indonesia.

Pondok cerdas Indonesia atau yang kemudian kami sebut #pondasi adalah Iearning center yang disediakan untuk kemudian dikelola oleh masyarakat setempat. Pondasi merupakan exit program @savementawai setelah sebelumnya menjalankan serangkaian program sebagai bagian dari emergency response dan penanganan pasca bencana seperti distribusi pangan, logistik, obat-obatan, tenaga medis dan lain sebagainya terhitung 5 minggu setelah bencana terjadi.

Sajakku

Sajakku sajak kosong tanpa tangga nada
Tidak dinyanyikan melainkan diteriakan
Sajakku sajak kosong tanpa kata
Tidak dibacakan melainkan dirasakan

Sajakku bukan puisi cinta yang perlu buatmu terkesima
Sajakku adalah doa. Sesuatu yang lebih penting untuk kau aminkan ketimbang kau kagumi

Sajakku adalah sajak yang lahir dari dinding-dinding
Dari jalan-jalan panjang menuju rumahmu
Dari parodi keserakan
Dari sebesar-besarnya kesengsaraan

Sajakku adalah bunga
Yang dirawat cacing-cacing yang meronta ronta didadakm perut
Yang disuburkan air mata sepanjang hari tanpa mengenal kemarau
Yang diciptakan tuhan untuk jadi mimpi buruk bagimu

Sajakku adalah sajak bunga yang menempel dinding-dinding
Sajakku adalah tanda. Dirimu tidak pernah benar-benar sendiri

Sajakku adalah sajakku
Sajak yang memaksamu untuk berkata “saya bukan pemimpin yang baik”



o… posisi

Andai saja kau mau duduk sebentar denganku
Akan kuceritakan untukmu sebuah cerita
Sebuah cerita tentang bunga yang lebih baik dari uang dan kekuasaan
Sebuah cerita dari ibuku untukku

Andai saja kamu mau duduk dan bicara padaku
Perihal kebusukan orang-oramg yang setiap hari beli pupur dengan uang haram
Akan kusuguhkan untukmu segelas air putih lengkap dengan senyum sebagai alasnya
Lalu kesaksianmu kugubah jadi lagu

Andai saja kau mau melihatku
Melihat mataku yang berkaca-kaca mengasihimu
Pasti kini tidurmu nyenyak
Tidak memaksa lelap diatas tumpukan kepalsuan juga rasa bersalah

Andai saja kau mau sedikit mengerti
Diatas hakmu bersemayam hak orang lain
Mungkin kamu tidak akan hidup sebagai kutu air
Membuat gatal dan mau tidak mau harus diperangi

Andai saja kau mau
Aku akan jadi teman baikmu
Berdiri paling depan sejajar denganmu
Berkata benar dengan cara yang benar

Andai saja
Kau mau
Aku siap mati untukmu
Sebagai kawan. atau lawan.

Menulis Damai

http://photoblog.almascatie.com/
Life begins on the other side of despair - Sartre

Seberapa penting sebuah peristiwa pahit untuk diingat ? jawabannya adalah penting. Sebuah peristiwa pahit penting kiranya untuk diingat karna pada tahapannya mampu dijadikan momentum, batu tapal untuk menuju sebuah kondisi yang dicita-citakan. Setiap kejadian atau peristiwa pada kenyataannya menyisakan ingatan, pengalaman-pengalaman yang bila diterima akal sehat akan menjadi bahan pencerahan untuk fase berikutnya, fase perbaikan.

Kemarin untuk ke 13 tahunnya orang Maluku kembali mengenang tanggal 19 januari, tanggal penting yang secara sadar diingat sebagai momentum pecahnya konflik kemanusiaan di tanah raja-raja yang sebelumnya terikat dalam ikatan kekeluargaan dan kehidupan damai yang begitu tinggi nilainya. Rupa-rupa peringatan, rupa-rupa pula refleksi yang kiranya mampu disimpulkan sebagai bentuk kesadaran kritis orang Maluku. Arus besar masyarakat mengutuk peristiwa “idul fitri kelabu” tersebut sebagai bagian yang harusnya tidak pernah terjadi dalam sejarah hidup bangsa Maluku namun arus setelah itu menerima secara lapang dada dan mau menyebut peristiwa tersebut sebagai pelajaran berharga peradaban manusia Maluku.

Tuhan Melukis. Amboina.

Dalam tidur beta bermimpi. Tuhan menggambar diatas kanvas sebuah kota
Dengan bukit sebagai tempat peristirahatan
Dengan lembah sebagai ruang perjamuan
Dengan pesisir sebagai beranda

Arus yang bertemu di tanjung alang adalah pintu
Jalan masuk menuju rumah-rumah di pante yang anginnya sibu-sibu
batu merah ke rumah tiga
perahu layar bijak berlayar

beta lihat tuhan membuang jangkar di teluk lalu jadi dermaga
kapal-kapal besar bersadar. Orang-orang barat, orang-orang cina, orang-orang arab
orang-orang melayu menimbang hasil cengkeh dan pala
tempat yang ramai. Waktu itu.

Dalam mimpi beta lihat tuhan menulis diujung kanvas
Sebuah nama untuk kota kecil diantara bukit dan pantai
Amboina, tuhan melukis Amboina
Kota kecil tempat beta bangun, Amboina.

Kicau Pagi di Sekitar Rumah

Bila aku dengar orang menyebut-nyebut kota
Aku pasti ingat rumahku di kampung
Berada di lereng
Bukit-bukit kecil yang menghadap ke laut. 

Bila aku dengar orang mengucap selamat pagi
Aku pasti ingat ibuku 
Setiap pagi berkawan angin. Berbisik
Pada anak-anak, pada ranting-ranting

Bila aku dengar pagi di kota
Aku pasti ingat rumah dan ibu di kampung
Menggantung di kening. Tersimpan dalam hening
Ingatan dan sedih telah berada jauh.

Bila aku dengar pagi. 
Aku pasti ingat kicau pagi disekitar rumah

Seribu Lilin Untuk Sondang


acara : malam refleksi seribu lilin untuk sondang 
waktu : Jumat, 16 desember 2011, pukul 19.00 WIT.
tempat : pelataran kampus IAIN - ambon

acara akan diisi dengan pembacaan puisi dan renungan. akan dihadiri oleh teman-teman mahasiswa, komunitas sastra, penggiat HAM dan lain sebagainya.
acara terbuka untuk umum dan menerima segala bentuk apresiasi positif.

salam.



Puisi Untuk Sondang Hutagalung

Aku tak mengenalmu. Apalagi pernah bertegur sapa denganmu.
Aku hanya mendengar namamu. Orang-orang memperbincangkanmu.
Berita-berita mewartakan peristiwamu. Aksi yang untuk sebagian orang disebut heroik dan oleh sebagian orang lain dinilai sebagai tindakan yang konyol

Foto-fotomu cepat sekali menyebar. Dari yang masih tersenyum lebar hingga yang matamu terpejam
Aku merasa dekat disitu. Dari gambar-gambar yang banyak itu
Aku merasa melihat bukti. Otentik untuk sebuah perjuangan yang bukan hanya sekedar wacana

Sondang, bila kau masih hidup dan bisa menjawab pertanyaanku. Aku ingin bertanya hal-hal sederhana untukmu
Apa yang setiap hari kau pikirkan?
Buku apa yang kau baca ?
Musik apa yang kau dengar ?
Pikiran siapa yang kau yakini ?
Malam macam apa yang kau cintai ?
Kesunyian macam apa yang menjadi temanmu ?
Lalu keberanian apa yang membuat kau memilih membakar diri hidup-hidup. api menyala disekujur tubuh.
kulit yang melepuh, luka bakar yang menganga, dengan kesakitan yang tiada bisa diukur. kau menerima kematiian.
sebagai tamu. teman lama yang datang membawa hadiah

Sondang, aku percaya banyak orang yang memikirkan apa yang engkau pikirkan. banyak orang pula menyuarakan hal yang sama dengan yang engkau suarakan. Tapi bahwa banyak orang berani berkeputusan untuk mati menjadi martir, menjadi batu tapal sebuah perjuangan. Aku ragu.
Sakit rasanya kamu sebelum akhirnya berpisah dengan hidupmu tentu tidak lebih sakit dari rasa sakit mendengar komentar miring orang-orang yang mungkin sama sok tahunya dengan orang yang peduli. Tapi aku merasa jalanmu bukan jalan yang pendek, jalanmu adalah jalan panjang yang pasang dan surut. Mendaki banyak bukit-bukit, menuruni ngarai-ngarai yang curam dan menepak dijalanan penuh duri dari batu-batu kerikil, batu-batu karang hingga ranting-ranting kering.

Sondang, untukmu aku menulis ini. Sajak dari seseorang yang tiada saling kenal.
Pikiranmu tua. Lebih tua dari umurmu. Pikiranmu berat. Seberat penderitaan banyak orang yang yakin sungguh menjadi cerminmu.
Bukumu bukan buku "how to", bukan pula buku puisi cengeng yang mendebarkan. Bukumu buku catatan, kitab kehidupan yang lebih suci dari lusinan kitab suci.
Lagumu bukan lagu hip-hop, lagumu juga bukan lagu bob marley atau beatles. Lagumu adalah doa. Doamu untuk banyak orang yang kau perdengarkan dengan diam.
Pikiranmu bukan pikiran dogma, pikiranmu bukan pikiran populer yang dibeli murahan di lapak harian ibu kota. Pikiranmu adalah pikiranmu, pikiran yang menjadi tokoh utama dalam cerita yang kau susun sendiri.
Malam sunyi menguburmu. Waktu mengabur dan sesat tiada terperikan untuk sebuah pilihan perjuangan.
Orang-orang berpikir. Macam-macam rupanya. Namun engkau, sondang yang muda dan berani telah lebih dahulu tiba diujung. Jalan panjang yang berliku lalu luka. Menyala membakar ingatan.

Sondang, aku mengenalmu. Dalam cerita banyak orang. Dalam berita-berita.
Aku berkaca padamu. Berkaca padamu yang berkaca pada banyak orang-orang. Sakit. Hati. Memilih mati.


---
Ditulis di sekitar jalan AJ Patti, Ambon sore ini. Sondang ....

Perempuan Malam

dalam malam kelam, engkau duduk muram. anak-anakmu menangis seperti hendak berziarah ke makam, lalu marabahaya terus mengancam. jangan terpejam, berpesan engkau pada hati kecilmu dengan kejam. kertas buram, menunggu disulam. semakin sering dihantam, semakin sering mengecerkan logam.. tapi lampu-lampu padam, listrik sudah putus dengan bohlam. berlalu engkau dari duduk yang keram, pulang kerumah setelah adzan subuh menikam dan kamera wartawan menghujam.

"bila nanti ibu mati dirajam, bahagialah ibu sudah hidup jadi temaram" berbisik anak malam, mengusap-ngusap pipimu yang lebam. 

nasib jadi bungkam. sedih jadi haram.