Kicau Pagi di Sekitar Rumah

Bila aku dengar orang menyebut-nyebut kota
Aku pasti ingat rumahku di kampung
Berada di lereng
Bukit-bukit kecil yang menghadap ke laut. 

Bila aku dengar orang mengucap selamat pagi
Aku pasti ingat ibuku 
Setiap pagi berkawan angin. Berbisik
Pada anak-anak, pada ranting-ranting

Bila aku dengar pagi di kota
Aku pasti ingat rumah dan ibu di kampung
Menggantung di kening. Tersimpan dalam hening
Ingatan dan sedih telah berada jauh.

Bila aku dengar pagi. 
Aku pasti ingat kicau pagi disekitar rumah

Seribu Lilin Untuk Sondang


acara : malam refleksi seribu lilin untuk sondang 
waktu : Jumat, 16 desember 2011, pukul 19.00 WIT.
tempat : pelataran kampus IAIN - ambon

acara akan diisi dengan pembacaan puisi dan renungan. akan dihadiri oleh teman-teman mahasiswa, komunitas sastra, penggiat HAM dan lain sebagainya.
acara terbuka untuk umum dan menerima segala bentuk apresiasi positif.

salam.



Puisi Untuk Sondang Hutagalung

Aku tak mengenalmu. Apalagi pernah bertegur sapa denganmu.
Aku hanya mendengar namamu. Orang-orang memperbincangkanmu.
Berita-berita mewartakan peristiwamu. Aksi yang untuk sebagian orang disebut heroik dan oleh sebagian orang lain dinilai sebagai tindakan yang konyol

Foto-fotomu cepat sekali menyebar. Dari yang masih tersenyum lebar hingga yang matamu terpejam
Aku merasa dekat disitu. Dari gambar-gambar yang banyak itu
Aku merasa melihat bukti. Otentik untuk sebuah perjuangan yang bukan hanya sekedar wacana

Sondang, bila kau masih hidup dan bisa menjawab pertanyaanku. Aku ingin bertanya hal-hal sederhana untukmu
Apa yang setiap hari kau pikirkan?
Buku apa yang kau baca ?
Musik apa yang kau dengar ?
Pikiran siapa yang kau yakini ?
Malam macam apa yang kau cintai ?
Kesunyian macam apa yang menjadi temanmu ?
Lalu keberanian apa yang membuat kau memilih membakar diri hidup-hidup. api menyala disekujur tubuh.
kulit yang melepuh, luka bakar yang menganga, dengan kesakitan yang tiada bisa diukur. kau menerima kematiian.
sebagai tamu. teman lama yang datang membawa hadiah

Sondang, aku percaya banyak orang yang memikirkan apa yang engkau pikirkan. banyak orang pula menyuarakan hal yang sama dengan yang engkau suarakan. Tapi bahwa banyak orang berani berkeputusan untuk mati menjadi martir, menjadi batu tapal sebuah perjuangan. Aku ragu.
Sakit rasanya kamu sebelum akhirnya berpisah dengan hidupmu tentu tidak lebih sakit dari rasa sakit mendengar komentar miring orang-orang yang mungkin sama sok tahunya dengan orang yang peduli. Tapi aku merasa jalanmu bukan jalan yang pendek, jalanmu adalah jalan panjang yang pasang dan surut. Mendaki banyak bukit-bukit, menuruni ngarai-ngarai yang curam dan menepak dijalanan penuh duri dari batu-batu kerikil, batu-batu karang hingga ranting-ranting kering.

Sondang, untukmu aku menulis ini. Sajak dari seseorang yang tiada saling kenal.
Pikiranmu tua. Lebih tua dari umurmu. Pikiranmu berat. Seberat penderitaan banyak orang yang yakin sungguh menjadi cerminmu.
Bukumu bukan buku "how to", bukan pula buku puisi cengeng yang mendebarkan. Bukumu buku catatan, kitab kehidupan yang lebih suci dari lusinan kitab suci.
Lagumu bukan lagu hip-hop, lagumu juga bukan lagu bob marley atau beatles. Lagumu adalah doa. Doamu untuk banyak orang yang kau perdengarkan dengan diam.
Pikiranmu bukan pikiran dogma, pikiranmu bukan pikiran populer yang dibeli murahan di lapak harian ibu kota. Pikiranmu adalah pikiranmu, pikiran yang menjadi tokoh utama dalam cerita yang kau susun sendiri.
Malam sunyi menguburmu. Waktu mengabur dan sesat tiada terperikan untuk sebuah pilihan perjuangan.
Orang-orang berpikir. Macam-macam rupanya. Namun engkau, sondang yang muda dan berani telah lebih dahulu tiba diujung. Jalan panjang yang berliku lalu luka. Menyala membakar ingatan.

Sondang, aku mengenalmu. Dalam cerita banyak orang. Dalam berita-berita.
Aku berkaca padamu. Berkaca padamu yang berkaca pada banyak orang-orang. Sakit. Hati. Memilih mati.


---
Ditulis di sekitar jalan AJ Patti, Ambon sore ini. Sondang ....

Perempuan Malam

dalam malam kelam, engkau duduk muram. anak-anakmu menangis seperti hendak berziarah ke makam, lalu marabahaya terus mengancam. jangan terpejam, berpesan engkau pada hati kecilmu dengan kejam. kertas buram, menunggu disulam. semakin sering dihantam, semakin sering mengecerkan logam.. tapi lampu-lampu padam, listrik sudah putus dengan bohlam. berlalu engkau dari duduk yang keram, pulang kerumah setelah adzan subuh menikam dan kamera wartawan menghujam.

"bila nanti ibu mati dirajam, bahagialah ibu sudah hidup jadi temaram" berbisik anak malam, mengusap-ngusap pipimu yang lebam. 

nasib jadi bungkam. sedih jadi haram.  

Refleksi Badati Damai: Leang Sayang Laeng, Leang Lia Laeng


Hujan deras yang sempat mengguyur kota Ambon pelan-pelan berubah jadi gerimis, pukul 19.15 WIT saya berhasil mendarat di Gong Perdamaian Dunia tempat akan berlangsungnya Refleksi “Badati Damai”. Meski hujan baru mereda, ternyata sudah banyak orang yang datang dan mempersiapkan acara yang sederhananya adalah medium “baku dapa” orang-orang yang menghendaki kehidupan damai di Maluku.

cinta mengajarkan aku ....


@hurufkecil: #cintamengajarkanaku pulang 

Dari Sebuah Tempat Yang Jauh

Dari tempat yang jauh
Dari waktu yang berbeda
Aku mengingatmu. Lemah
Aku rasa tubuhnku. Butuh segera bersua

Dari rumahku
Aku membayangkanmu yang berada dirumahmu
Memikirkan aku. Sama seperti aku memikirkanmu
Hanya sebatas pikiran. Kita tak dapat saling bercumbu

Aku sayang padamu
Lalu kau jawab: Aku juga sayang padamu
Pesan pendek tak pernah bisa berkesudahan
Terlalu pendek untuk mengungkap perasaan. Terlebih-lebih sebuah ciuman

Dari tempat yang jauh
Kita bicara. Sebentar saja
Karna sesudah itu hening. Marah
Pada jarak. keadaan yang menihilkan bahkan untuk sebuah pelukan yang biasa-biasa saja

Dari rumahku
Aku menulis puisi untukmu
Bicara padamu. Pada hatimu
Aku mencintaimu. Bahkan sudah lebih dari itu.

Batu Hitam Di Lapangan Hijau

Lalu sudah dia berdiri
Sudah berlari sekencancang-kencangnya
Meninggalkan genangan air mata, darah yang mengering. Menuju senyum kebanggaan orangt-orang di dusun
Dengan bola. Satu-satunya miliknya

Dari sebuah rumah sederhana, dimana ribuan bau bisa bercampur
Mata yang tajaam bisa lahir, menyala terag menghidupkan gelap
Tangan dan kaki yang kokoh. Anak-anak terbaik yang mematahkan ranting dan batu-batu tajam
Lawan terbaik kawanan babi hutan

Di bawah sorot lampuh dan teriakan yang pecah
Duka dari luka bisa diingat. Bisa pula dirawat
Hal-hal sederhana yang mengenangkan. Orang-orang mati tanpa batu nisan
Ditebus batu hitam yang jadi tumpuan ribuan haarapan

Sepetak tanah disamping rumah. Teman-teman kecil sepermainan
Tertinggal sudah jauh dibelakang
Hanya doa-doa yang melayang, menembus batas. Sesuatu yang tidak akan bisa dipandang
Hanya bisa dirasa.

Lalu lampu-lampu sudah padam
Suara-suara sudah mengabur
Batu hitam dilapangan hijauh tetap riuh. Sudah jauh ditinggalkannya rumah, juga gawang kecil disamping yang tiada lagi punya bintang. Bermimpilah dia
Dalam senyap yang tersisa. Kemenangan. 
Kemerdekaan. Batu-batu hitam ditanah yang hitam

Sepak Bola: Dari Rakyat, Untuk Rakyat

Bukan sesuatu yang berlebihan bila mengatakan selain bencana, sepak bola adalah hal lain yang dapat mengeratkan rasa persaudaraan dan kebangsaan bangsa Indonesia. Lautan manusia, sorak-sorai, dukungan semangat dan doa yang mengalir kencang untuk tim sepak bola kita di final malam ini adalah satu lagi bukti dari pendapat tersebut. Sepak bola sebagai sesuatu yang bernilai penting memang bukan baru terjadi malam ini, sepak bola adalah sesuatu yang masih “benar-benar” milik rakyat, masih benar-benar bisa melambungkan harapan setiap orang setinggi-tingginya dan yang terpenting hasil dari setiap pertandingan, apapun itu adalah milik semua rakyat Indonesia.

Tentang Sebuah Kentut di Ambon

Siapa tak tak mengenal kentut. Kecil memang
Tapi itu hanya nampaknya
Sebuah kentut mengamalkan pribahasa kecil-kecil cabe rawit
Abis dikentut bisa jadi harus dirawat

Sebuah kentut dalam sejarah peradaban manusia memang sering jadi pemicu
Perdebatan, adu mulut sampai adu parang
Pertikaian. Bahkan mungkin sejenis perang saudara
Dimana harga diri ditegakkan jadi umbul-umbulnya

Sebuah kentut kadang bisa disamakan dengan retorika politik
Tajam baunya, tak tampak wujudnya
Seribu kali dicari, seribu kali kecewa. Alih-alih menunggu
Buahnya bisa jadi cuma kesal, geram dan sakit hati

Sebuah kentut dalam dunia medis dapat divonis berbahaya
Dikategorikan racun karena berasal dari jenis makanan yang berbahaya
iri hati, dengki dan hal-hal picik lainnya
Tidak butuh banyak. Satu dua kali “proot” pasti kritis

Lalu…
Apa hubungan sebuah kentut dengan Ambon
Bukankah sebuah kentut ada dimana-mana, dikota manapun
Jawabannya adalah iya. Iya di ambon kentut bisa jadi sesuatu. Datang dari satu pantat dan dihembuskan ke seantero negri dan membuat orang-orang mabuk

Di kota ambon yang kecil, sebuah kentut bisa nyaring terdengar
Membahana disegala penjuru
Menggema dari ujung ke ujung
Memancing perhatian semua orang

Di kota ambon yang orang-orangnya gemar berkumpul, sebuah kentut bisa jadi sebuah perdebatan
Didebatkan beramai-ramai, dijinjing kemana-mana
Jadi bahan gunjing. tak habis dimakan waktu
Apalagi berubah jadi sepatu ataupun batu

Di kota ambon yang lebih mirip kampung, sebuah kentut bisa dikepung
Dijadikan menu utama yang diserubu seluruh negeri
Umpan yang dikerumuni ribuan ikan di laut
Macam mantra yang bisa turunkan moyang-moyang dari bukit-bukit

Lalu…
Bisakah manusia berperang melawan sebuah kentut yang katanya adalah kodrat
Bisakah orang-orang menyelamatkan ambon dari ancaman sebuah kentut
Jawabannya tanyakan pada angin yang berhembus dipesisir. yang tak pernah menyelipkan sisir di saku belakang atau berlagak pilon tidak punya bulpen untuk tanda tangan.




Katong Seng Tako (Melawan Teror)

foto almascatie: pattimura muda
Gerakan-gerakan besar didunia yang mendorong perubahan pada prinsipnya adalah gerakan-gerakan yang menutut perbaikan. Ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan pada kenyataannya selalu menjadi alat tekan, landasan bersikap untuk melakukan sebuah upaya. Gerakan perubahan adakah sebuah keniscayaan karena dalam pandangan apapun, sebuah perbaikan adalah nilai yang penting untuk mencapai tingkatan-tingkatan tertentu. Secara umum, sebuah gerakan mendorong perubahan—sebuah gerakan yang menuntut perbaikan bermuara pada cita-cita paling sederhana dalam kehidupan manusia yaitu kesejahteraan.

Hari apa ini ?

Orang-orang yang memilih berjalan di lorong gelap hari
Masih diawasi. Tiada beda dengan tahun-tahun sebelumnya
Sedang orang-orang yang mengendap-ngendap  sendiri dalam keramaian hari ini
Tidak lagi dianggap sesuatu yang aneh. Berubah menjadi sebuah aliran, sebuah ajaran

Koran-koran sudah tidak dipercaya
Begitupula televisi dan radio
Berita-berita lebih dianggap karangan indah berisi kebohongan
Lalu orang-orang lebih percaya pada desas desus ketimbang apa yang diketahuinya sendiri

Orang-orang yang memilih berteriak merdeka di lorong gelap hari ini
Masih terus dimata-matai. Salah-salah dianggap pengacau, salah-salah dihakimi keadaan
Sedang orang-orang yang menyanyikan lagu cinta palsu di panggung hiburan hari ini
Tidak lagi dianggap sebagai penipu. Sebab semua terdengar baik, laksana nabi yang membawa kebenaran dari langit

Zaman berubah. Manusia-manusiapun berubah. Jadi pongah
Dalam kepongahannya manusia jadi lebih suka berdebat, jadi lebih suka baku hantam
Tanpa jalan keluar yang sepenuhnya dikembalikan sebagai hak tuhan
Kebenaran kini duduk bersanding dengan kesejahteraan. Menjadi barang mahal. Semisal mimpi basah dibawah kolong jembatan penyebrangan

Orang-orang yang memilih marah di dalam lorong hari ini
Masih diintimidasi. Dianggap musuh dan harus dimatikan
Sedang orang-orang yang berbaik-baik diruang hampa hari ini
Tidak lagi dianggap sesuatu yang sia-sia. Banyak orang seperti beradu melakukan satu hal yang sama

Kebaikan, hal-hal sederhana
Hal-hal kecil seperti air susu ibu dimasa kanak-kanak kini naik harganya
Bukan karena tingginya permintaan
Tetapi karena sudah langka dan dimusiumkan. Sesekali saja dipajang dipigura untuk dipertontonkan untuk kepentingan meriahnya sebuah arena pertunjukan

Orang-orang yang berlari mengejar bayangannya didalam lorong hari ini
Masih dikebiri, dianggap hidup dijaman jahiliya dan tidak mampu mengupgrade kehidupannya
Sedang orang-orang yang berteriak-teriak kemanusiaan dari kamar gelap
Sudah tidak dianggap lagi seuatu yang kosong. Karena bisa jadi artis, dibayar berjuta-juta dan semua orang ingin naik kelas yang sama

Orang-orang yang berguru hal-hal baik didalam lorong hari ini
Yang percaya tentang perbaikan harus dimulai dari hal-hal kecil didalam diri
Sungguh tidak lagi lebih baik dari orang-orang yang mengharamkan palu arit dalam gambar tapi menjadikannya mainan kunci seribu pintu
Mimpi-mimpi kebaikan dijual murah dan semuanya nampak jadi lebih baik.

Orang-orang hari ini.
Hari apa ini ?



Perempuan Indonesia

Tulang-tulang yang busuk

Hampir malam, ketika itu. Aku tidur direrumputan. Menyibak ilalang. Memperbaiki bayang-bayang. Lalu datang bau tajam. Menusuk dari bawah, mendesak naik lalu memenuhi udara. Tulang-tulang penuh darah, keluar mencari makan—menembus kulit.

Amis, aku mencium amis. Amis yang datang dari tubuhku sendiri. Lalu aku bingung, berusaha mengajaknya bicara. “Tulang-tulang mengapa?” tapi tulang-tulang diam tak punya suara. “tulang-tulang ada apa? Tulang-tulang tetap tak menjawab, tetap keluar—tetap kemana-mana.

Tulang-tulangku. Masihkah jadi tulang-tulangku. Mengapa tak bicara padaku. Mengapa pergi meninggalkan aku.

Sebelum aku terbaring disini. Jauh sebelum jasadku lahir. Jauh sebelum tulang-tulang berdarah-darah menembus kulit. Di langit, tulang-tulang pernah dijanji. “kelak sekalian dari kamu—wahai tulang-tulang rusuk akan dipertemukan kembali. Membayar rindu, selamanya hidup bersama”.

Tidak ada air mata, tulang-tulang tidak pernah punya air mata. Tulang-tulang pula tidak pernah punya pilihan. Hanya bisa menerima. Lalu bila ternyata tulang-tulang rusuk tidak dipertemukan kembali. Tulang-tulang akan busuk. Akan keluar membayar rindu, masuk ketanah mencari pasangannya yang tertimbun tanah merah yang masih basah.

Lalu kini aku menangis. Menyaksikan tulang-tulangku keluar. Menjadi bukan tulang-tulangku. Mencari tubuhmu. Mencarimu yang mati membawa pergi keinginanku, harapanku dan semua pakaian yang masih membungkus urat kemaluanku untuk tidak menjadi gila karena terlalu lama berjarak darimu. Tuhan mungkin punya rencana lain, tapi tulang-tulang rusukku  memilihmu. Sudah keluar, berdarah-darah menuju rumah barumu yang basah dengan air hantaran dan air mataku yang jatuh mengalir membelah lautan. Aku menangis, melepas tulang-tulang rusukku busuk ditelan kerinduan.

Tulang-tulang rusukku adalah tulang-tulang rusukmu. Begitupun begitu.


Bulan Yang Tenggelam Di Piring

Aku dengar orang-orang ribut
Aku lihat sekelompok mahasiswa dikejar-kejar keparat
Di televisi. Orang-orang berselisih pendapat
Mendebatkan hal-hal. Ikhtiar merebut sebelum direbut.

Lalu aku dengar angin berhembus
Membungkus nyilu dari kesunyian yang kian hari kian membius
Di balik nyiru dua ekor serangga bersenggama
Aku ingin kembali bicara perihal cinta

Di depan pintu kamarku. Di Ambon
Aku duduk dan memandang langit malam yang warnanya biru
Melihat bulan dengan mata telanjang. bulat-bulat minta ditikam di ulu
Sebuah piring kosong berisi air dihadapanku berubah jadi bulan. Bisa dimakan.

Aku ingin kau mendengarku
Sama seperti aku mendengar bunyi angin, juga orang-orang yang ribut
Aku ingin kau melihatku
Sama seperti aku melihat bulan yang sandra perasaan yang begini keparat

Pada piring dimana bulan tenggelam aku bicara
Sayang, aku telah belajar mencintaimu sejauh ini
Maka jangan pasung aku dalam amarah sebab aku sekarang cuma bisa rasa
Bicara pada bulan. Aku mencintaimu: hingga sabar menanti begini.

---

Perempuan yang Menanak Cinta didalam Dadanya

perempuan yang memendam rindu dalam malam
telah menanak cinta didalam dadanya
kesunyian bagai bohlam-bohlam
pijar cahayanya menusuk dari mana-mana

di bangku tengah rumah ia terduduk
diatas tiap lembar kulit yang pelan-pelan mengelupas ia berdoa
hidup ternyata derita: bahkan setelah nyawa berani digadai diujung badik
waktu sudah jauh, ingatan-ingatan sudah mengabur: semua sudah dilupa

di meja dekat bangku ia tertunduk
ditulisnya duka di atas selembar surat
anak laki-lakinya mati: suaminya hilang tiada kabar, tiada suara
lalu keinginan sudah tua, harapan-harapan sudah usang: dirinya sudah belajar melupa

perempuan yang memadu sepi 
sambil menyulam selimut untuk dirinya sendiri
berkata: masa depan oh masa depan, beri tanda bahaya
orang-orang jahat masih berkeliaran. mereka menebar racun, memaksa kuasa dengan paksa

api amarah padam
tulang sudah remuk redam
keberanian telah digugat tragedi silam
yang tersisa cuma doa yang mengiklaskan dendam: tetap rapi tersimpan 


---
untuk perempuan-perempuan yang ditakut-takuti masa lalu. sejarah bangsa adalah sejarah penindasan.

SMS Komodo Untuk Sapi dan Kambing Kurban

Bunyi petas petus petasan sudah berkurang. Cuma tinggal satu dua saja
Tapi takbir masih berbunyi keras tanda pesta persiapan belum selesai
Sapi-sapi dan kambing-kambing yang tidak pernah harus mandi itu sedang lepas pisah
Mengucapkan terima kasih untuk semua pihak yang berjasa

Sapi-sapi dan kambing-kambing tahu takdir mereka
Hanya butuh hidup sehat dan sabar menjelang takdir ditangan tukang jagal
Entah untuk dijual lalu dibeli dijadikan rendang
Atau dipotong-potong kecil-kecil lalu dibagikan pada kaum yang fakir

Sapi-sapi dan kambing-kambing tahu nasib mereka
Hanya butuh jadi manfaat semasa hidup dan sesudah mati
Kadang mungkin rasanya mereka yang lebih layak menyombongkan diri
Bisa jadi manfaat ketimbang manusia yang hanya bisa bikin onar

Disela-sela pesta perpisahan seekor sapi mendadak lemas dipojokan
Rasa nyilu merambat dari kaki hingga perut, hingga kepala hingga matanya kunang-kunang
Ada apa sayang ? Tanya seekor sapi lain dengan seribu tanda tanya dikepala
Kematian tidak akan pernah memisahkan kita. Sapi itu berkata lagi

Sapi yang terkulai lemas itu menggeleng
Melihat disekitarnya telah berkerumun sapi-sapi dan kambing-kambing lain
Jangan cemas padaku. Ujar sapi yang baru saja hampir dikasihi itu
Ini tentang pesan ini, tambah sapi sambil menyodorkan handphonenya

Bunuh saja aku.
Penggal kepalaku
Kuliti kulitku
Rebus dagingku
Hidangkan aku dimeja makan orang-orang yang rakus itu
Biar mereka puas. maka begitu ijinkankanlah aku ikut dikurbankan bersama kalian

Pesan singkat satu rupiah itu datang dari komodo
Komodo yang frustasi karna diputar dimeja pemodal
Tiba-tiba semua menitikan satu tetes air mata
Satu tetes air mata untuk menolak satu rupiah yang membuat komodo dibully habis habisan

Andai saja nabi sulaiman masih hidup
Mungkin sekarang sudah direbutnya toa masjid untuk sekedar bicara
Tuan-tuan dengar tuan
Komodo minta disembelih besok. Bersama sapi dan kambing-kambing yang akan bertemu dengan tuhannya

Aku Mendengarmu: Sunyi

Aku mendengarmu bicara banyak
Tentang perjumpaan, tentang perpisahan
Tentang bunyi-bunyi air yang kadang tak sempat direkam daun-daun
Aku mendengarmu bicara rupa-rupa
Tentang kebahagian, tentang kesedihan
Tentang langit jingga yang kadang terlalu cepat berubah menjadi malam

Aku mendengarmu
Meski engkau tak pernah bicara padaku. aku dengar
Aku dengar tawamu yang pecah. yang membuat semua orang menoleh kearahmu
Aku dengar tangismu yang luruh. yang membuat semua bahu tertuju padamu

Aku dengar. Aku dengar semuanya
Aku dengar sampai akhirnya engkau tak lagi berkata apa-apa
Aku dengar. Aku dengar semuanya
Aku dengar sampai akhirnya tiada lagi suara-suara

Engkau mati ditikam kata-katamu
Engkau mati ditelan mimpi-mimpimu
Aku dengar. Aku dengar mulutku berkata amin
Tapi setan dikepalamu tak butuh amin

Aku tak punya madu
Maka begitu aku tak bisa engkau hisap
Aku tak bisa engkau makan hidup-hidup
Maka engkau tak pernah bicara padaku
Tapi aku tetap mendengar
Sampai akhirnya engkau mati.
--- sunyi

Jakarta Hujan

untuk sebuah kota yang ramai. jakarta
hujan adalah rindu. solusi sekaligus masalah
kebanyakan orang menepi
lalu kebanyakan lagi yang lain tetap berada dijalan. terjebak

siapa yang akan pedulu siapa
padahal tubuh sudah saling himpit-himpitan. mengutuk atau bahkan menikmati hal yang sama
ada senyum malu-malu
meminta api. membakar diri demi sebuah rasa. hangat

untuk sebuah kota yang ramai. jakarta
hujan adalah ribuan musafir yang tersesat dan mengalihkan perhatian
kebanyakan orang enggan bersalaman. atau bahkan hanya untuk sekedar tegur sapa
lalu kebanyakan yang lain rela telanjang bersama. saling meraba.

apa yang lebih penting dari pertanyaan apa-apa
bahkan ketika pikiran dan ingatan disusupi perihal yang sama. kenang mengenangkan
ada senyum-senyum sendiri
bila itu rasa sudah larut dalam dingin. tidak tahu akan dibawa kemana

untuk sebuah kota yang ramai. jakarta
hujan adalah parade kemanusian. ritual mandi bersih yang bebas dipilih atau tidak
perag kelas nampak jelas. memasang taring dengan rupa-rupa bunyi mengabur yang nyaring ditelan gemuruh
lalu orang-orang sadar. hidup yang retak hanya milik manusia
     larut. hanyut. dalam hujan. 
     jakarta

---
beberapa hari lalu (setelah hujan), Oktober 2011

Mati di Laut

Bisakah kita bicara disaat-saat seperti ini
Ketika angin bertiup dari mana-mana dan aku tak mampu menghalau. Rindu
Aku melihat jutaan kilatan tanda panah mengapung di lautan
Menuntunku pulang ke satu-satunya dermaga yang aku tuju. Ingatan tentangmu.

Aku kini sudah pergi
Meninggalkan dunia yang berselisih
Orang-orang pintar yang saling serang
Orang-orang setengah pintar yang gemar bergunjing
Juga mereka yang tidak masuk kedalam hitungan keduanya. Yang hanya bisa saling sikut, saling tendang

Bisakah kita bicara disaat-saat seperti ini
Ketika langit mulai diliputi gelap dan aku gagap bernyanyi. Merdu
Aku menyaksikan ratusan camar terbang rendah
Mengajarkan aku perihal bersyukur. Masih sempat menjilat sumpah serapah

Aku kini sudah jauh
Melewati batas gelombang radio. Keluar tanpa membawa TV apalagi surat kabar
Juga aturan-aturan. Segala kepatutan yang harus dibayar lunas diatas tanah tempat bendera berkibar
Dalam telanjang aku nelangsa. Dadaku bergetar.

Bisakah kita bertemu disaat-saat seperti ini
Ketika aku lebih banyak bicara sendiri dan berkaca pada mata. Waktu
Namun bila tidak. Akan aku titip sebuah pesan untukmu bersama ombak yang bergulung ke pesisir
Bertemu denganmu, mencium kakimu. Menjilati kuku-kuku lentikmu

Dari atas palka kapal aku bersaksi
Sudah kutulis namamu. Lengkap beserta irisan senyum khasmu di batu-batu karang
Biar dihempas ombak. Ombak yang sebelumnya sudah kucampurkan dengan satu tetes air matamu
Mulutku kaku tak lagi bisa mengucap mantra. Hanya doa kecil yang bisa aku ucap hampir malam itu. Dalam namamu.

Bila sudah tiba musim timur.
Tunggu aku dipesisir. tempat dimana bayanganmu bisa membelah lautku
Pesanku akan tiba padamu
Sepucuk surat berisi tanya jawab yang tertulis di tangan akan bicara padamu:
Beta sudah sudah pulang bertemu maut. Ketika itu kita sudah tiada lagi bisa berpaut.
Beta mati di laut.

Dalam Doa Bapa Kami

dalam doa bapa kami
bicara kepada anak-anaknya
perihal taman bunga, operihal mata-mata air susu. keluar dari batu-batu. kelopaknya warna-warni, mengalir turun ke samudra

dalam doa bapa kami
berpesan kepada anak-anaknya
ketamakan itu berbuah sengsara. sedang kesabaran itu lebih dari apapun. keduanya berperang, tentukanlah yang mana yang harus jadi pemenang

dalam doa bapa kami
berhitung sebab akibat kepada anak-anaknya
hiduo di dunia adalah hukuman. jangan beratkan hukuman kemudian dengan menambah dosa. berbuatlah kebaikan dan pandai-pandailah bersyukur

dalam doa bapak kami
beroleh selamat (semoga) kepada anak-anaknya
amin

Aku ingin mati di pantai

sayangku. aku lahir di pantai
tempat ribuan ombak pecah di karang setiap hari
tempat laut bitu berubah keemesan . lalu kemudian hitam

di pantai. alam bernyanyi
tifa dan gitar bergetar di dalam angin
melantunkan puji-pujian sepanjang waktu

aku selalu mabuk
lupa diri. tidur di atas pasir
lalu anjing-anjing datang membangunkanku
menjilati kaki-kaki. matahari sudah pulang ketika itu

sayangku. aku ingin mati di pantai
dikubur hanyut ke dilautan yang sunyi
tempat dimana aku pernah datang
tempat dimana aku akan pulang

aku ingin menari dan bernyanyi. sayang
tanpa apa-apa kecuali doa-doa
aku ingin mandi matahari. sayang
lalu tidur. lalu mati. lalu
   sudah

Bukan Sepi. Sepi

Aku tidak akan pulang kerumah. Ketika riuh.
Aku tidak akan kembali ke dalam pelukan. Ketika banyak mata tertuju padamu
Aku ingin sepi-sepi.
Menyalakan api dan menghangatkan tubuhku sampai tiba saat dirimu pantas kembali. Padaku.

Ilalang terbakar. Ketika itu aku duduk di pojokan.
Menukar rasa cinta yang sukar. Aku tidur di kaki malam. Melupa diri. Mabuk sendiri.

Bila malam pulang. Pagi datang. Dan aku masih disini. Jangan cari
Aku bisa kembali pergi
Menabung kerinduan
Mengusir dingin dengan matahari yang bisa membakar ubun-ubun. Lalu aku lari. Lagi.

Sayangku. Ini sajakku.
Sajak kejujuranku.
Sajak yang sejak lama sudah tertimbun. Lalu menguap kembali ke udara bersama hari.

Aku mau sepi sayang. bersamamu.
Atau sepi sendiri jua. Tak akan mengapa.

Kepada BS

Temukan aku. Di tempat biasa.
Tempat dimana semua sama adanya.

Temen. Kau tau aku benci terang. Aku benci lampu-lampu putih.
Maka temukan aku di tempat biasa. Tempat kita duduk dan berbagi rupa-rupa cerita

Teman. Bila kau lupa
Ingat aku. Aku yang duduk disamping atau dihadapanmu.
Menyulang kepedihan dan menelan keperihan.
Di emper. Di parkiran

Aku yakin kau akan selalu teringat.
Temukan aku. Di tempat biasa.

Menolak Lupa



aku duduk di beranda; jam 7 malam itu
berfikir tentang banyak hal; lebih banyak tentangmu
tentang masa-masa silam—hari-hari suram; kemarin

pewarta bercerita banyak tentang kenang-kenangan
sedang angin masih bawa terbang kabar data dan fakta
aku mengingatmu; bersama kengiluan yang di torehkan dalam kisah pemimpin-pemimpin kita yang lalim

binasa; jasad sudah jadi abu
tapi air mata darah perjuangan yang mana yang bisa dilupa
aku menolak puji-pujian yang aku pikir pantas untuk di berikan untukmu
sebab mungkin dirimupun tidak pernah menginginkan itu

aku tulis pesan dari depan pintu; jam 7 malam itu
tepat 7 tahun; parodi kekuasaan itu memenjarakan tubuhmu
kematian boleh peroleh kisah yang sudah
tapi semangat bisa menjalar kemana-mana—keringatmu sudah tumpah, sudah merembes ke tanah

ini adalah pesanku, penolakan atas lupa
penolakan atas pengingkaran janji-janji palsu
lalu tidak akan aku kirim rangkaian bunga untuk mengiasi pusara
biar kau tahu kini perjuanganmu telah mengeras jadi batu

aku masih disini: sama sepertimu yang masih disana
tidak berpindah dan tetap memilih menjadi batu tapal perjuangan hak
menyala terang dalam malam; kelak

sebelum lewat hari, lalu orang-orang sibuk lagi
aku kirim doa; lengkap dengan palungku di atas kepala
kami masih terus mengingat, terus berbuat—berjuang seperti halnya dirimu; aminkan terus doa kami.

---
Ambon, 7 September 2011
(terinspirasi dari twit @sepedamalam: anak-anak yang melawan Negara; bukanlah anak-anak yang murtad terhadap bangsanya dan di bacakan dalam peringatan 7 Tahun “Mengenang Munir, Menolak Lupa” @ Moluccas Democratization Watch  - Ambon)



Doa untuk tanah yang manis


Oleh Rudi Fofid

Dari teluk sampai ke gunung, Tuhan, inilah Amboina,
Kota yang Kau bangun dengan jari-jari tangan-Mu sendiri. 
Tanahnya teramat manis seperti ranumnya buah-buah pala,
Wangi bagaikan  cuaca musim panen, bunga-bunga cengkih

Sioh, tanah Ambon adalah rahim ibu kandungku,
Sungai-sungai tak pernah berhenti mengalirkan air susu. 
Kami selalu  mendesahkan nafas menjadi banyak lagu.
Karena ada arus laut, embun jatuh dan angin sibu-sibu

O, kami mau menari di bandar, cakalele di bawah angin
Biarkan kami berlayar di atas ombak yang berdebar-debar
Kami mau kalahkan luasnya laut yang terkadang penuh misteri
Sebagaimana moyang kami selalu pulang mengibarkan bendera

Maka kumohon Tuhan, mari pukul tifa rebana dengan nyong-nyong Ambon, 
Tersenyumlah bagi nona-nona penari lenso, gendong anak-anak zaman
Lambaikan tangan kepada ama-ama dan ina-ina kaeng kabaya
Biarkan saja kami terharu dan air mata tumpah karena cinta

Tuhan, rembulan dan matahari dari Leitimur Selatan ke Tanjung Alang
Cahayanya menjadi bidadari, turun mandi di air teluk yang gilang-gemilang
Sioh, jangan ambil pesona itu dari lembah-lembah dan gunung-gunung
Sebab bunga akan layu, andarinyo menangis, ikan dan udang mengambang

Maka kuduskanlah mesbah Ambon dengan percikan hujanmu dari langit
Supaya terberkatilah Upulatu kota bersama saniri-saniri yang bijak berperi 
Kewang  perkasa di darat dan laut, kapitan berhati baja kabaresi
Maueng kami yang agung, dan marinyo yang bergerak menembus tiap hati

Kami sekarang ada dalam lingkaran kaeng gandong yang suci murni
Melingkar pulau melingkar kota melingkar negeri
Melingkar baileo, melingkar paparisa
Melingkar jiwa raga, melingkar jantung hati

Tuhan, biarkan kami bermimpi tentang negeri damai, kota untuk semua orang
Kami bisa minum kopi dengan nikmat, tiada peduli pada suara burung  hantu
Anak-anak berlari di hamparan  pasir dan karang,
dan terus melaju sebagai tombak menembus masa depan

0, sang timur, beri kami tahun-tahun terang yang takan redup dan padam
Supaya kami selalu melangkah di jalan-jalan cahaya yang Kau kehendaki
dan dari kemuliaan-Mu di atas sana, Kau bisa tersenyum melihat ke bawah
sebuah kota laut biru dengan keindahan yang lebih sastrawi dari beribu puisi,

Dari teluk sampai ke gunung, Tuhan, inilah Amboina,
Kami percaya pada kerahimanmu yang tiada punya batas
Jagalah kami seperti Engkau menjaga biji mata-Mu sendiri
Supaya  kami beroleh selamat,  di tanah yang begini surgawi

Ambon, September 2011

(* ini adalah puisi yang saya bacakan sebagai doa ulang tahun kota Ambon yang ke 463 Tahun malam tadi)