Atas Nama ( Moralitas dan Agama)

Share on :
Film Atas Nama dimulai dengan rekam peristiwa runtuhnya rezim orde baru yang disertai narasi pembuka yang memikat tentang sakralnya kata perubahan yang dikumandangkan dihari – hari itu, tentang pekikan teriakan merdeka dan bebas yang seperti menemukan kembali maknanya yang utuh serta tentang hidupnya kembali masa depan yang lebih baik bagi banyak orang setelah sekian puluh tahun sebelumnya mati.

Film Atas Nama adalah sebuah catatan kritis, sebuah gugatan terhadap kesadaran semu bangsa Indonesia memandang realitas kepastian hukum atas Hak – hak warga Negara yang masih terus jauh dari apa yang dicita – citakan dan menjadi sebuah keharusan untuk dicapai. Perangkat Hukum konon dibuat untuk menciptakan keteraturan yang menempatkan perlindungan atas hak sebagai bagian yang ada didalamnya namun bagaimana ketika manusia akhirnya merasa dijebak atas nama penafsiran – penafsiran, dominasi – dominasi kelompk, perang ideologi dan keyakinan – keyakinan tertentu ? jawabannya adalah “ Negara Gagal “.

Dalam kurun waktu lima tahun pertama bergulirnya reformasi, penyempurnaan – penyempurnaan perangkat hukum mulai dari Undang – undang dasar hingga aturan perundang – undangan dibuat dan dititik beratkan pada upaya mengadopsi secara menyeluruh Hak Asasi Manusia sebagai ciri dari hukum modern. Diwaktu yang sama, konflik – konfik berlatar belakang Agama, Suku, Ras, Etnis dan Golongan terjadi seakan – akan sebagai sebuah ledakan atas potensi konflik yang telah mengendap lama. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang meledakannya ? Negara dalam atas situasi ini sudah tentu menjadi pihak yang dituntut tanggung jawabnya karena potensi konflik tersebutpun bisa dianggap tidak datang dari warga Negara melainkan diciptakan oleh otoritas tertentu memanfaatkan “perbedaan” yang sejatinya adalah sebuah kehendak penciptaan. Manusia yang sejak awal diciptakan berbangsa – bangsa, bersuku – suku, merdeka menentukan hak atas keyakinan beragama, bebas memilih golongan dengan macam isu yang mengakibatkan gesekan sosial tertentu lalu chaos dan disorientasipun terjadi.

Indonesia hari – hari ini memang sedang seperti “pemarah”, sebuah keadaan yang dikondisikan dimana setiap orang harus melindungi dirinya atas hak – hak yang dimilikinya sebagai seorang manusia dan sebagai seorang warga Negara. Film Atas Nama yang adalah Film dokumenter besutan Komnas Perempuan mengangkat realitas hidup perempuan yang juga tidak luput dari konteks konflik – konflik horizontal tersebut.


Lilis Lisdawati adalah Buruh korban salah tangkap dari Perda kota Tanggerang No 8 Tahun 2005 Tentang Pelacuran. Lilis ditangkap karena dicurigai sebagai pekerja seks komersil ketika sedang menunggu kendaraan umum. Menurut aturan tersebut seseorang dapat ditangkap bila “dicurigai” sebagai pekerja seks karena perilaku dan cara berpakaiannya serta berada ditempat umum khususnya dimalam hari.



Kasus Lilis merupakan bukti kefatalan dari hukum yang tidak mampu mengayomi masyarakat, bukti bahwa hokum di Indonesia kita tercinta ini masih dibuat dengan dasar kepentingan tertentu bukan semata – mata karena melihat kebutuhan dari masyarakat atas perangkat hokum tersebut. Bagaimana dengan pekerja seks yang menggunakan pakaian tertutup dan berdiam diri saja dirumah apakah kemudian dapat dijangkau oleh perangkat hokum :curiga mencurigai” tersebut ? jawabannya adalah tidak.

Tentang perangkat hukum yang mengatur tentang pelacuran pada dasarnya dapat didekatkan ssebaagai upaya penciptaan ketentraman dan ketertiban warga tempat aturan tersebut dijalankan namun bila kemudian aturan tersebut mengakibatkan cedranya hak – hak warga Negara aturan tersebut pada daasarnya harus ditinjau kembali dan ditemukan jalan keluarnya yang efektif. Lilis adalah pekerja warung makan yang ditangkap kaarena dicurigai, bahwa lilis adalah tidak bersalah hal tersebut kemudian dapat dibuktikan bahkan sejak penangkapan tersebut terjadi, Lilis mengenakan pakaian yang wajar dan berada dijalan atas dasar pekerjaannya tapi kemudian ditangkap karena persoalan curiga mencurigai yang memiliki kekuatan hukum tetap tersebut.

Antara Hak Sipil, Syariat Islam dan Ahmadiyah         

Pemberlakuan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam mengenai tata cara berpakaian dan bersikap untuk perempuan menjadi bagian yang disoroti dalam film Atas Nama betapa aturan tersebut menjadi polemik yang oleh kelompok perempuan tertentu dianggap sebagai sebuah kesalahan penafsiran yang mengakbatkan terkebirinya hak – hak perempuan aceh.

“ ketika saya melahirkan mereka dan tahu dia adalah perempuan saya merasa harus bersedih karena tahu jika kedepan aturan ini tidak berubah mereka akan lebih sulit  “ ungkap Sri Wahyuni, warga Nanggroe Aceh Darussalam dan pekerja kemanusiaan “ saya tidak ingin anak saya besar, dalam usia remaja 14 – 15 tahun merasa terkekang, tidak bebas berekspresi, tidak memiliki ruang yang bebas untuk berkarya karna sangat dibatasi “ lanjutnya.

Ada semacam dilematisme tersendiri memang ketika pandangan atas hak berkehendak orang perseorangan diperhadapkan dengan asas hukum yang didasarkan pada aturan Agama yang juga di yakininya. Tapi bukankah keimanan seserang bebas ditentukan oleh masing – masing manusia berdasarkan pilihannya sendiri dan keimanan tidak terbatas hanya pada simbol – simbol semata melainkan datang dari dalam diri. Bagi saya sendiri Islam adalah agama yang tidak kaku dan untuk menafsir apa yang ada didalamnya tentu tidak bisa didasarkan pada kehendak kalangan tertentu. Kata serang teman “ tidak akan pernah bleh ada kementrian pahala dan dosa dinegeri ini “

Peristiwa penolakan yang berakibat penyerangan daan pengusiran terhadap jamaah Ahmadiyah di Lombok Timur juga menjadi sorotan film ini. Menurut pantauan Komnas Perempuan perempuan – perempuan dari korban peristiwa mengalami ancaman dan kekerasan khususnya kekerasan seksual pada saat dan setelah terjadi penyerangan, tidak dapat menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka, mengalami pemiskinan, gangguan kesehatan serta tidak dapat mencatat pernikahannya. Peristiwa – peristiwa serupa yang terjadi di Nusa Tenggara Barat tersebut terjadi juga di Jawa Barat.

Bila warga Negara kehilangan tempat berlindung karena Negara akhirnya tidak mampu melindungi dan malah terkesan mengambil peranan penting dalam konflik – konflik yang terjadi karena seakan – akan memelihara dan melakukan pembiaaran – pembiaran maka pada siapa lagi warga Negara harus berlindung ? jawabannya akhirnya adalah dirinya sendiri. Lilis Lisdawati akhirnya memang dibebaskan setelah sebelumnya secara langsung telah diposisikan sebagai seorang bersalah yang harus membayar denda, mengalami kurungan dan mendapatkan persidangan yang “ mengolok – ngolok “. Lilis seharusnya mendapat persidangan tertutup namun kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya sehingga tak pelak hinaan dan hujatan dilayangkan padanya ditambah lagi perilaku persidangan yang memojokan dengan menuduhnya berbohong. Setelah peristiwa tersebut Lilis dan keluarga mendapatkan stigmatisasi serta perlakuan yang tidak sesuai dan keyataan tersebut tentulah mencacatkan kehidupan social dirinya dan keluarganya. Lilis akhirnya meninggal dalam keadaan Depresi. Lilis dan keluarganya harusnya mendapatkan hak hukumnya sebagai warga Negara setidaknya pemulihan nama baik.

Tanggerang adalah satu dari 38 daerah yang memiliki aturan tentang Pelacuran. Perda Kota Tanggerang tersebut sudah di ajukan ke Mahkamah Agung untuk Judicial Review tapi permohonan tersebut ditolak begitu juga yang terjadi di Bantul. Aturan tersebut disatu sisi pada prinsipnnya menghendaki perbaikan nilai dan keterjaminannya tata hidup masyarakat namun disisi lain juga memiliki potensi fatal yang juga harus dianggap penting seperti kasus Lilis ini sehingga gugatan – gugatan mengenai aturan ini terus dilayangkan oleh banyak aktifis perempuan karena daalam hal ini perempuanlah yang dianggaap paling didiskriminasikan.
Penyeragaman yang terjadi di Aceh atas dasar aturan berbasis agama terjadi juga di 21 daerah lain di Indonesia. Beberapa daerah dilaporkan sering mengalami razia yang disertai kekerasan. Pernyataan serupa adalah bahwa aturan yang dibuat pada dasarnya ditujukan untuk kebaikan namun pelaksanaan dilapangan sering kali mencedrai hak – hak masyarakat sipil, penggerdilan nilai – nilai agama tersebut serta pemasungan terhadap kebebasan individu dan hal tersebut harusnya tidak terjadi.

“ mengapa kita tidak dilindungi Negara ? padahalkan kita adalah warga Negara. Saya asli lmbk tapi kini tidak diterima “ begitu kurang lebih pertanyaan Haryati salah serang Jamaah Ahmadiyah yang menjadi krban di Lombok Timur

Apapun alasannya kemudian, Negara seharusnya memberi perlindungan dan menghasilkan ketetapan hukum yang menjelaskan kedudukan Ahmadiyah sehingga tidak terus berlarut – larut seperti yang masih terus terjadi hingga hari ini. Tentang latar belakang Ahamdiyah sendiri masih menjadi kesimpangsiuran begitupun ajarannya tapi lebih dari itu harusnya sikap mayoritas tidak mengedepankan ego lalu melukai hak – hak minoritas atas dasar paandangannya.

Masa ini memang adalah masa yang berat bagi Indonesia baik sebagai bangsa maupun sebagai Negara  dan hal terpenting ternyata adalah menjadi lebih paham dan menciptakan prioritas untuk mewujudkan cita – cita bersama yaitu mencerdaskan, mensejahterakan dan melindungi segenap bangsa Indnesia tanpa terkecuali yang secara ideal hanya akan tercipta bila warga negaranya dan pemerintah bahu – membahu, memiliki rasa saling percaya dan mau bisa saling menerima perbedaan. Jangan mau dipolitisir apalagi oleh kepentingan – kepentingan besar yang pura buta dan pura tuli. Cepat – cepat kesadaran kritis kita lahirkan dan dalam kesadaran itu menolak segala bentuk kriminalisasi, pembatasan – pembatasan, Diskriminasi, kekerasan, peyeragaman dan bentuk lain atas nama apapun bahkan Moralitas dan Agama karena kebebasan sejatinya adalah fitrah manusia dan Negara harusnya mampu memberikan perlindungan yang sebaik – baiknya dalam hukum formal yang mengatur sikap warga Negara dengan baik tanpa merugikan pribadi manapun baik laki – laki maupun perempuan, golongan apapun, agama manapun dan lain sebagainya menurut saya. Atas nama… wajib ditonton untuk menjadi bahan pertimbangan kita sekalian. Sekian.  

0 komentar:

Posting Komentar