Film Atas Nama adalah sebuah
catatan kritis, sebuah gugatan terhadap kesadaran semu bangsa Indonesia memandang
realitas kepastian hukum atas Hak – hak warga Negara yang masih terus jauh dari
apa yang dicita – citakan dan menjadi sebuah keharusan untuk dicapai. Perangkat
Hukum konon dibuat untuk menciptakan keteraturan yang menempatkan perlindungan
atas hak sebagai bagian yang ada didalamnya namun bagaimana ketika manusia
akhirnya merasa dijebak atas nama penafsiran – penafsiran, dominasi – dominasi
kelompk, perang ideologi dan keyakinan – keyakinan tertentu ? jawabannya adalah
“ Negara Gagal “.
Dalam kurun waktu lima tahun pertama bergulirnya reformasi, penyempurnaan – penyempurnaan perangkat hukum mulai dari Undang – undang dasar hingga aturan perundang – undangan dibuat dan dititik beratkan pada upaya mengadopsi secara menyeluruh Hak Asasi Manusia sebagai ciri dari hukum modern. Diwaktu yang sama, konflik – konfik berlatar belakang Agama, Suku, Ras, Etnis dan Golongan terjadi seakan – akan sebagai sebuah ledakan atas potensi konflik yang telah mengendap lama. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang meledakannya ? Negara dalam atas situasi ini sudah tentu menjadi pihak yang dituntut tanggung jawabnya karena potensi konflik tersebutpun bisa dianggap tidak datang dari warga Negara melainkan diciptakan oleh otoritas tertentu memanfaatkan “perbedaan” yang sejatinya adalah sebuah kehendak penciptaan. Manusia yang sejak awal diciptakan berbangsa – bangsa, bersuku – suku, merdeka menentukan hak atas keyakinan beragama, bebas memilih golongan dengan macam isu yang mengakibatkan gesekan sosial tertentu lalu chaos dan disorientasipun terjadi.
Indonesia hari – hari ini memang
sedang seperti “pemarah”, sebuah keadaan yang dikondisikan dimana setiap orang
harus melindungi dirinya atas hak – hak yang dimilikinya sebagai seorang
manusia dan sebagai seorang warga Negara. Film Atas Nama yang adalah Film
dokumenter besutan Komnas Perempuan mengangkat realitas hidup perempuan yang
juga tidak luput dari konteks konflik – konflik horizontal tersebut.
Lilis Lisdawati adalah Buruh
korban salah tangkap dari Perda kota Tanggerang No 8 Tahun 2005 Tentang
Pelacuran. Lilis ditangkap karena dicurigai sebagai pekerja seks komersil
ketika sedang menunggu kendaraan umum. Menurut aturan tersebut seseorang dapat
ditangkap bila “dicurigai” sebagai pekerja seks karena perilaku dan cara
berpakaiannya serta berada ditempat umum khususnya dimalam hari.
Kasus Lilis merupakan bukti
kefatalan dari hukum yang tidak mampu mengayomi masyarakat, bukti bahwa hokum
di Indonesia kita tercinta ini masih dibuat dengan dasar kepentingan tertentu
bukan semata – mata karena melihat kebutuhan dari masyarakat atas perangkat
hokum tersebut. Bagaimana dengan pekerja seks yang menggunakan pakaian tertutup
dan berdiam diri saja dirumah apakah kemudian dapat dijangkau oleh perangkat
hokum :curiga mencurigai” tersebut ? jawabannya adalah tidak.
Tentang perangkat hukum yang
mengatur tentang pelacuran pada dasarnya dapat didekatkan ssebaagai upaya
penciptaan ketentraman dan ketertiban warga tempat aturan tersebut dijalankan
namun bila kemudian aturan tersebut mengakibatkan cedranya hak – hak warga
Negara aturan tersebut pada daasarnya harus ditinjau kembali dan ditemukan
jalan keluarnya yang efektif. Lilis adalah pekerja warung makan yang ditangkap
kaarena dicurigai, bahwa lilis adalah tidak bersalah hal tersebut kemudian
dapat dibuktikan bahkan sejak penangkapan tersebut terjadi, Lilis mengenakan
pakaian yang wajar dan berada dijalan atas dasar pekerjaannya tapi kemudian
ditangkap karena persoalan curiga mencurigai yang memiliki kekuatan hukum tetap
tersebut.
Antara Hak Sipil, Syariat Islam dan Ahmadiyah
Pemberlakuan Syariat Islam di Nanggroe
Aceh Darussalam mengenai tata cara berpakaian dan bersikap untuk perempuan
menjadi bagian yang disoroti dalam film Atas Nama betapa aturan tersebut menjadi
polemik yang oleh kelompok perempuan tertentu dianggap sebagai sebuah kesalahan
penafsiran yang mengakbatkan terkebirinya hak – hak perempuan aceh.
“ ketika saya melahirkan mereka
dan tahu dia adalah perempuan saya merasa harus bersedih karena tahu jika
kedepan aturan ini tidak berubah mereka akan lebih sulit “ ungkap Sri Wahyuni, warga Nanggroe Aceh
Darussalam dan pekerja kemanusiaan “ saya tidak ingin anak saya besar, dalam
usia remaja 14 – 15 tahun merasa terkekang, tidak bebas berekspresi, tidak
memiliki ruang yang bebas untuk berkarya karna sangat dibatasi “ lanjutnya.
Ada semacam dilematisme
tersendiri memang ketika pandangan atas hak berkehendak orang perseorangan
diperhadapkan dengan asas hukum yang didasarkan pada aturan Agama yang juga di yakininya.
Tapi bukankah keimanan seserang bebas ditentukan oleh masing – masing manusia
berdasarkan pilihannya sendiri dan keimanan tidak terbatas hanya pada simbol –
simbol semata melainkan datang dari dalam diri. Bagi saya sendiri Islam adalah
agama yang tidak kaku dan untuk menafsir apa yang ada didalamnya tentu tidak
bisa didasarkan pada kehendak kalangan tertentu. Kata serang teman “ tidak akan
pernah bleh ada kementrian pahala dan dosa dinegeri ini “
Peristiwa penolakan yang
berakibat penyerangan daan pengusiran terhadap jamaah Ahmadiyah di Lombok Timur
juga menjadi sorotan film ini. Menurut pantauan Komnas Perempuan perempuan –
perempuan dari korban peristiwa mengalami ancaman dan kekerasan khususnya
kekerasan seksual pada saat dan setelah terjadi penyerangan, tidak dapat
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka, mengalami
pemiskinan, gangguan kesehatan serta tidak dapat mencatat pernikahannya.
Peristiwa – peristiwa serupa yang terjadi di Nusa Tenggara Barat tersebut
terjadi juga di Jawa Barat.
Bila warga Negara kehilangan
tempat berlindung karena Negara akhirnya tidak mampu melindungi dan malah
terkesan mengambil peranan penting dalam konflik – konflik yang terjadi karena
seakan – akan memelihara dan melakukan pembiaaran – pembiaran maka pada siapa
lagi warga Negara harus berlindung ? jawabannya akhirnya adalah dirinya
sendiri. Lilis Lisdawati akhirnya memang dibebaskan setelah sebelumnya secara
langsung telah diposisikan sebagai seorang bersalah yang harus membayar denda,
mengalami kurungan dan mendapatkan persidangan yang “ mengolok – ngolok “.
Lilis seharusnya mendapat persidangan tertutup namun kenyataan yang terjadi
adalah sebaliknya sehingga tak pelak hinaan dan hujatan dilayangkan padanya
ditambah lagi perilaku persidangan yang memojokan dengan menuduhnya berbohong.
Setelah peristiwa tersebut Lilis dan keluarga mendapatkan stigmatisasi serta
perlakuan yang tidak sesuai dan keyataan tersebut tentulah mencacatkan
kehidupan social dirinya dan keluarganya. Lilis akhirnya meninggal dalam keadaan
Depresi. Lilis dan keluarganya harusnya mendapatkan hak hukumnya sebagai warga
Negara setidaknya pemulihan nama baik.
Tanggerang adalah satu dari 38
daerah yang memiliki aturan tentang Pelacuran. Perda Kota Tanggerang tersebut
sudah di ajukan ke Mahkamah Agung untuk Judicial Review tapi permohonan
tersebut ditolak begitu juga yang terjadi di Bantul. Aturan tersebut disatu
sisi pada prinsipnnya menghendaki perbaikan nilai dan keterjaminannya tata
hidup masyarakat namun disisi lain juga memiliki potensi fatal yang juga harus
dianggap penting seperti kasus Lilis ini sehingga gugatan – gugatan mengenai
aturan ini terus dilayangkan oleh banyak aktifis perempuan karena daalam hal
ini perempuanlah yang dianggaap paling didiskriminasikan.
Penyeragaman yang terjadi di Aceh
atas dasar aturan berbasis agama terjadi juga di 21 daerah lain di Indonesia.
Beberapa daerah dilaporkan sering mengalami razia yang disertai kekerasan.
Pernyataan serupa adalah bahwa aturan yang dibuat pada dasarnya ditujukan untuk
kebaikan namun pelaksanaan dilapangan sering kali mencedrai hak – hak
masyarakat sipil, penggerdilan nilai – nilai agama tersebut serta pemasungan
terhadap kebebasan individu dan hal tersebut harusnya tidak terjadi.
“ mengapa kita tidak dilindungi
Negara ? padahalkan kita adalah warga Negara. Saya asli lmbk tapi kini tidak
diterima “ begitu kurang lebih pertanyaan Haryati salah serang Jamaah Ahmadiyah
yang menjadi krban di Lombok Timur
Apapun alasannya kemudian, Negara
seharusnya memberi perlindungan dan menghasilkan ketetapan hukum yang
menjelaskan kedudukan Ahmadiyah sehingga tidak terus berlarut – larut seperti
yang masih terus terjadi hingga hari ini. Tentang latar belakang Ahamdiyah
sendiri masih menjadi kesimpangsiuran begitupun ajarannya tapi lebih dari itu
harusnya sikap mayoritas tidak mengedepankan ego lalu melukai hak – hak
minoritas atas dasar paandangannya.
Masa ini memang adalah masa yang
berat bagi Indonesia baik sebagai bangsa maupun sebagai Negara dan hal terpenting ternyata adalah menjadi lebih
paham dan menciptakan prioritas untuk mewujudkan cita – cita bersama yaitu
mencerdaskan, mensejahterakan dan melindungi segenap bangsa Indnesia tanpa
terkecuali yang secara ideal hanya akan tercipta bila warga negaranya dan
pemerintah bahu – membahu, memiliki rasa saling percaya dan mau bisa saling
menerima perbedaan. Jangan mau dipolitisir apalagi oleh kepentingan –
kepentingan besar yang pura buta dan pura tuli. Cepat – cepat kesadaran kritis
kita lahirkan dan dalam kesadaran itu menolak segala bentuk kriminalisasi,
pembatasan – pembatasan, Diskriminasi, kekerasan, peyeragaman dan bentuk lain
atas nama apapun bahkan Moralitas dan Agama karena kebebasan sejatinya adalah
fitrah manusia dan Negara harusnya mampu memberikan perlindungan yang sebaik –
baiknya dalam hukum formal yang mengatur sikap warga Negara dengan baik tanpa
merugikan pribadi manapun baik laki – laki maupun perempuan, golongan apapun,
agama manapun dan lain sebagainya menurut saya. Atas nama… wajib ditonton untuk
menjadi bahan pertimbangan kita sekalian. Sekian.
0 komentar:
Posting Komentar