Pattimura (Tidak) Butuh Starbucks

Share on :


Ini adalah postingan balasan untuk “Starbucks UI” yang diposting oleh Arnellis beberapa hari yang lalu. Di postingannya tersebut kawan saya menulis tentang kegamangannya menyaksikan kehadiran sebuah gerai kopi internasional dengan tulisan hijau menyala “Starbucks Coffee” yang menempel layaknya parasit di bangunan baru Perpustakan Pusat Universitas Indonesia yang konon katanya adalah perpustakaan terbesar Se-Asia Tenggara.  

Dalam postingannya tersebut, Arnellis mengutip pernyataan saya betapa Universitas Indonesia seharusnya menyandang berat beban persoalan bangsa hari ini, khususnya di bidang  pendidikan yang hingga kini masih saja jauh dari harapan masyarakat. Keharusan ini bagi saya lahir dari konsekuensi Universitas Indonesia yang menggunakan “Indonesia” sebagai nama yang dengan sendirinya menjadi semacam legitimasi atas keseluruhan wilayah dari Sabang sampai Merauke. Lepas dari latar belakang sejarah bahwa kampus biru tersebut adalah universitas pertama di Indonesia dan berkedudukan di ibu kota negara sehingga memperoleh penamaan eksklusif tersebut, identitasnya tetaplah perlu diperbaharui agar mampu menjawab realitas sosial kekinian.

Arnellis membagikan tulisan tersebut kepada saya melalui twitter yang kurang lebih berisi “Starbucks UI untuk Universitas Pattimura“ yang dengan tersenyum dan lugas saya jawab “Pattimura tidak butuh Starbucks“. Ada semacam kegelian yang hadir setelah itu bahwa ketimpangan sosial khususnya di ranah pendidikan di negara kita hingga hari ini masih terus terjadi dan merujuk pada klasifikasi kasta kota atau daerah. Dalam pengalaman menjadi mahasiswa, saya seringkali merasa iri dengan keberadaan teman-teman mahasiswa yang banyak saya jumpai dalam berbagai kesempatan kegiatan mahasiswa, termasuk ketika untuk pertama kalinya di tahun 2010 saya menginjakkan kaki di Universitas Indonesia. Waktu itu perpustakan pusat tersebut masih dalam proses pembangunan dan belum cukup menyita perhatian saya. Saya lebih tertarik mengunjungi KOPMA FH UI yang bagi saya cukup representatif untuk memenuhi kebutuhan perkuliahan mahasiswa. Sementara yang terjadi saat itu, saya sebagai mahasiswa Universitas Pattimura di Ambon untuk meminjam buku di perpustakan fakultas saja cenderung sulit karena terbatas jumlahnya. Semasa menjadi mahasiswa kami cenderung memilih “jalur bebas”, organisasi-organisasi ekstrakampus untuk berkegiatan karena fasilitas-fasilitas tersebut tidaklah tersedia seperti yang terjadi di kebanyakan kampus-kampus yang terkemuka di pulau Jawa. Taktis kami hanya punya ruang kelas dan papan tulis untuk kegiatan perkuliahan.

Terkenang sebuah pernyataan gamblang dari seorang guru besar di awal masa kuliah “terima kasih untuk kalian yang telah memilih berkuliah di sini, di tengah keterbatasan sarana dan prasarana yang ada. Bila suatu hari kalian berhasil, percayalah bahwa hal tersebut bukanlah karena kampus menjadikan kalian seperti itu, tetapi karena kalian lahir dengan kecerdasan tersebut dan telah berjuang untuk menjadi cerdas“. Pernyataan tersebut adalah pernyataan yang ingin saya kenang sampai mati karena pada kenyataannya saya menjadi angkatan pertama mahasiswa Universitas Pattimura yang berkuliah di kampus induk, setelah sebelumnya dalam masa rekonsiliasi pasca konflik kemanusiaan di Maluku kuliah diadakan di kampus alternatif. Jadilah kami mahasiswa berkuliah di antara puing-puing gedung sisa terbakar dengan alang-alang setinggi perut. Hari berganti, waktu berjalan dan keadaan semakin membaik, walaupun sampai akhirnya saya menegaskan kaki melangkah masuk di ruang judisium kampus saya tidak pernah sama dengan pengalaman saya akan kampus-kampus yang pernah saya kunjungi. Tentang ini adalah proses, saya percaya, tetapi gambaran seperti ini adalah bagian dari fakta sosial yang harus dimengerti dan menjadi kepedulian semua orang, semua mahasiswa “Indonesia”.

Kegamangan Arnellis akan keberadaan gerai kopi internasional yang dalam gugatannya disebut satu porsinya bernilai tujuh kali harga warkop biasa di pinggir kampung saya maknai sebagai bentuk kesadaran kritis terhadap realitas sosial kemasayarakatan kita hari ini dan untuk hal tersebut saya memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya. Saya yakin dan percaya sungguh bahwa di antara ribuan mahasiswa berjaket kuning yang seperti tidak memiliki kesadaran terdapat orang-orang, mahasiswa-mahasiswa yang juga kritis dan menolak sebenarnya keberadaan brand kelas dunia tersebut. Namun, keberadaan sistem yang memandang pilihan tersebut sebagai langkah cerdik menjawab transformasi kebutuhan zaman terlampau kuat untuk bisa dibendung. Secara bangga saya menyebut sikap tersebut sebagai cerminan sikap orang-orang yang takut kalah bersaing dan tidak bisa masuk pasar bila yang dibuka di sana adalah gerai kopi lokal yang menjual kopi luwak, kopi Toraja, atau kopi-kopi asli lainnya milik Indonesia. Mereka tidak benar-benar cinta negara ini kecuali terus menghalalkan kapasitas untuk memperkaya diri dan sayangnya lagi mahasiswa yang harusnya “melawan” kini terbungkam. Sudahlah.  

Saya menulis balasan postingan ini sembari mendengar sebuah lagu kebanggaan di masa menjadi mahasiswa: “Darah Juang”. Sebuah lagu yang saya harap masih menjadi lagu kebanggaan mahasiswa Indonesia hari ini. Bagi saya, lagu ini menjadi semacam pengingat keniscayaan untuk selalu berjuang lewat berbagai macam cara demi mencapai kemaslahatan bangsa dan negara.

Di sini negeri kami
Tempat padi terhampar
Samudranya kaya raya
Negeri kami subur, Tuhan

Di negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak buruh tak sekolah
Pemuda desa tak kerja

Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan DARAH JUANG KAMI
Tuk MEMBEBASKAN RAKYAT

Bunda relakan darah juang kami
Padamu KAMI BERJANJI      

Dalam berbagai wacana posisi mahasiswa Indonesia hari ini memang dipertanyakan. Perjuangannya juga kerap diragukan disebabkan oleh berbagai hal. Namun tentang pendidikan saya hanya ingin menyampaikan bahwa pendidikan adalah candu dan sesederhana itu. Marilah kita mabuk bersamanya tanpa peduli warna dan simbol-simbol. Kita hanya perlu mabuk bersamanya. Suatu hari Pattimura mungkin juga akan butuh Starbucks sebagai sebuah kemutlakan, tetapi sebelum itu terjadi semoga dari Barat sampai Timur Indonesia pemerataan pendidikan telah terjadi.

MAHASISWA "INDONESIA",
TERUS ANGKAT TANGAN KIRIMU SEBAGAI SIMBOL PERLAWANAN! 

6 komentar:

indobrad mengatakan...

powerful! saya suka dengan statement guru besar tersebut. alih-alih menuding pemerintah, sang guru menyadarkan kita untuk bangkit dari puing dan melampaui batas.

iphank dewe mengatakan...

wah dapat kunjungan kehormatan. *gelar karpet merah* :D

begitulah bang. guru besar. tadi sempat bilang ke teman, keterbatasan yang dialami justru sering bisa bikin kita jadi cinta sama apa yang kita punya. tentang realitas bangsa dan negara kita hari ini semoga kita bisa selalu buat yang terbaik. amin :)

Panggil aku Nova... mengatakan...

Gak tau kenapa, ini opini saya pribadi sih ya..
Selain yg udah dibahas di atas tentang fasilitas UI, ada satu lg yg mungkin kita lupa.

UI, identik dengan kampus artis. Banyak artis2 pinter yang kuiah di sana.
Artis? Jelas gaul dan serba modern.

Mungkin itu salah satu alasannya selain alasan kenyamanan mahasiswa kali ya. Sh, saya juga kurang tahu.

Anonim mengatakan...

Ratakan dulu pendidikan di Indonesia, barulah Indonesia boleh bergaya bermewah-mewah.

Terima kasih atas catatanmu ya. :)

Anonim mengatakan...

newbie labil numpng nyimak gan . .sapa tau dapet pencerahan . .

putro sentono mengatakan...

aku setuju banget ma kakak knapa gak kopi asli indonesia yang di jual di sana kan lebih menguntungkan negeri sendiri......

tapi kita harus optimis indonesia akan berjaya di dunia, karena prestasi anak indonesia yang mendunia......

Posting Komentar