Tadi sore akhirnya saya menonton Serdadu Kumbang, film yang saya
terima sebagai satu lagi film Indonesia yang berkualitas. Film ke-5 Alenia Pictures ini bagi saya mengesankan karena selain seperti
biasa berangkat dari realitas sosial, mengusung nilai-nilai budaya dan menjadikan
pendidikan sebagai salah satu muatan utama, film berlatar kehidupan masyarakat Sumbawa,
Nusa Tenggara Barat ini adalah film yang menguras emosi, penonton kerap diajak
tertawa terbahak-bahak mengapresiasi bagian-bagian konyol sekaligus juga
mengikis rasa simpati yang tidak kurang bisa berujung dengan air mata.
Sejak awal saya memang sudah
terkesima dengan film besutan Ari Sihasale tersebut. Padang ilalang, anak
laki-laki berkuda, juga pohon besar dengan latar langit dan pegunungan di bagian
awal film tersebut seketika mengembalikan ingatan saya pada film Denias,
Senandung Negeri di Atas Awan, yang juga kurang lebih menghadirkan keindahan
yang sama. Apa beda Papua dan Sumbawa? Keduanya sama indah, keduanya sama istimewa,
keduanya sama Indonesia, dan terlebih keduanya memiliki realitas sosial yang
sama tertinggalnya setidaknya dari frame kedua film tersebut. Maka begitulah
kemudian bagi saya Papua dan Sumbawa tidak ada bedanya.
Ame, Acan, dan Umbe, tiga sekawan
dalam cerita Serdadu Kumbang bagi saya adalah satu lagi cerminan yang
merefleksikan kehidupan anak Indonesia di daerah yang menghadapi realitas
kehidupan serba berkekurangan ketika impian, cita-cita, dan harapan adalah
pedoman hidup untuk terus melangkah maju menghadapi segala persoalan yang ada. Jauh
dari sarana prasarana pemenuhan kebutuhan hidup memanglah adalah sebuah tantangan
terlebih lagi ketika didekatkan pada realitas betapa majunya dunia hari ini
dengan segala kecanggihannya. Namun bercermin dari pengalaman dan apa yang ada, saya
percaya bahwa sarana prasarana bukanlah satu-satunya faktor utama untuk
mencapai keberhasilan, karena sesungguhnya ketiga faktor penggerak daya hidup
yang telah saya sebutkan sebelumnya di ataslah yang memiliki kekuatan lebih
di hidup manusia. Ada banyak anak petani jadi pembesar di bangsa ini, ada banyak
anak kampung jadi petinggi di kota, dan banyak lagi contoh lain yang bisa lebih
spesifik sehingga keyakinan bahwa akan selalu ada takdir baik untuk mereka yang
berusaha terlebih-lebih di tengah kesulitan adalah benar, saya menemukan
penegasan terhadap hal tersebut di dalam Serdadu Kumbang.
Wacana tentang pemerataan pendidikan
di negeri ini memang masih akan terus akan menjadi wacana hangat dan menarik selama
belum dirasa belum jua terwujud atau bahkan masih terus jauh dari apa yang diharapkan.
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini setidaknya pendidikan semakin gencar
dikomunikasikan lewat berbagai media dan kini tidak lagi terbatas di kalangan
pemerintah saja, tetapi menjadi medan juang bagi masyarakat di berbagai lapisan. Hal
ini terbukti dengan banyak gerakan sosial yang lahir untuk menjawab, film, buku
dan lain sebagainya yang diciptakan untuk menjawab realitas sosial masyarakat Indonesia
yang tentu bukan hanya Jakarta, Bandung, Surabaya dan berbagai kota besar
lainnya, melainkan seluruh daerah hingga ke pelosok-pelosok. Keterbukaan informasi kini mampu meruntuhkan isolasi yang ada di daerah-daerah dan menghadirkan realitas kehidupan yang selama ini tersekat jarak. Perbedaan situasi dan
kondisi kini juga melahirkan rasa empati yang mendalam untuk bahu-membahu membantu
ketertinggalan tersebut karena sejatinya bila persoalan ini dirujukkan pada
konsepsi tujuan negara yang salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa, maka
dengan sendirinya tercipta hak dasar dari setiap warga negara untuk mengecap
pendidikan yang layak. Namun, bila ternyata pemerintah kita kewalahan mewujudnyatakannya, masyarakatlah yang harus bersatu padu. Film Serdadu Kumbang adalah
salah satu medium komunikasi persoalan-persoalan yang dimaksudkan di atas. Lewat
film tersebut setidaknya Sumbawa mewakili daerah-daerah lain di Indonesia yang
juga memiliki kondisi yang sama untuk mendapatkan perhatian bersama.
Terlepas dari kurang fokus
konstruksi alur cerita yang disebabkan oleh ragam isu dan pesan yang ingin
disampaikan, saya mencatat tiga komponen utama yang membuat saya menikmati dan
tersenyum puas usai menonton film tersebut, yaitu kritik pendidikan yang tajam,
eksplorasi terhadap sosial budaya yang menurut saya maksimal, dan banyaknya
pesan bernilai yang penting untuk dijadikan bahan renungan setiap orang yang
menontonnya.
Saya benar-benar menikmati film
tersebut, tertawa terbahak-bahak di bagian-bagian yang mempertontonkan keluguan
anak-anak desa, dan merasa sangat dekat dengan realitas sosial yang
dipertontonkan hingga tak pelak saya menangis—tersenyum di beberapa bagian film.
Bagi saya manusia terlahir merdeka, manusialah yang memenjarakan diri manusia
dalam berbagai keharusan yang disebut sistem yang sayangnya ternyata kerap
menyusahkan orang yang sama sekali tidak mengerti apa itu sistem. “… saya tidak bangga cucu saya cerdas di kepala
tapi tidak di dalam hati” atau “…Negara macam apa yang pendidikannya menghukum anak-anaknya” adalah kutipan penggalan-penggalan
kalimat yang saya rasa tajam menusuk karena menyangkut tujuan pendidikan itu
sendiri. Ternyata pendidikan sebenarnya bukan tentang selembar kertas yang dikenal dengan
nama ijazah, melainkan untuk menjadikan setiap manusia “manusia” uang
sesungguhnya.
Ame menjadi juara pacuan kuda,
dengan Smodeng yang ditebus kakak
perempuannya yang akhirnya harus berakhir dengan jatuh dari pohon ketika patah arang karena tidak lulus sekolah. Kehidupan keluarga Ame sejujurnya begitu dekat
dengan mata kita, maka pelajaran terbaik yang saya petik adalah setiap orang sejatinya memang
dilahirkan sebagai pejuang dalam hidupnya tidak peduli di mana pun dan
bagaimana dia melakukannya. Yang terpenting adalah menjawab panggilan seorang juara
tanpa perlu takut kalah atau sakit karena terjatuh.
Ameeeeeeeeee…. Terbanglah terbang,
raihlah mimpi—jangan berhenti.
---
Ambon, Juni 2011
2 komentar:
Tambah pengen nonton
harus nonton. wajib sewajub wajibnya.
Posting Komentar