Jakarta, Kota Kemanusiaan

Share on :
Bagi saya, berkunjung ke Jakarta adalah mengunjungi metro mini dan kereta ekonomi. Tanpa mengunjungi keduanya, saya merasa tidak benar-benar datang ke Jakarta. Di metro mini dan gerbong kereta ekonomi, saya merasa Jakarta adalah kota yang memanusiakan manusia. Jakarta adalah kota yang keras, begitu pencitraan banyak orang yang diberikan kepada kota Jakarta. Namun, bagi saya Jakarta adalah kota kemanusian, sebuah bentuk lain yang tidak lazim untuk disadari dan dipandang layak untuk dijadikan falsafah hidup oleh banyak orang yang berdiam di Jakarta.

Di metro mini datang bergantian segala macam tukang, mulai dari tukang minuman dengan gaya “pokari-mijon” yang khas sekali, tukang tisu, ikat rambut, kacang, permen sampai lem lengkap dengan sesi peragaan dan uji coba. Juga pengamen mulai dari yang kecil hingga yang besar—yang lelaki hingga perempuan, begitu juga di gerbong kereta ekonomi.

Dulu ibu selalu mengingatkan saya untuk menempatkan dompet di kantong celana bagian depan ketika berada di Jakarta, khususnya di tempat umum yang rentan kriminalitas seperti terminal dan stasiun. Waktu itu kali pertama saya berkunjung ke Jakarta yang dalam versi saya bukan untuk kegiatan tertentu.  Fasilitas penunjang seperti transportasi dan akomodasi disediakan, tapi untuk “merantau” dalam waktu yang relatif tidak ditentukan. Ibu cemas melepas saya ke Jakarta waktu itu, sehingga meski tidak pernah hidup di ibu kota negara tersebut dia begitu fasih mengingatkan saya akan banyak sekali kemungkinan yang harus saya waspadai. Seminggu saya ingat, setelah itu tidak ada lagi “pesan” darinya karena saya mampu meyakinkannya bahwa Jakarta adalah kota yang aman.

Sekitar satu setengah tahun saya hidup di Jakarta, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain sebelum akhirnya memilih kembali pulang untuk menyelesaikan studi yang saya tinggalkan, metro mini dan kereta menjadi nuansa tersendiri saya akan Jakarta. Metro mini dan kereta adalah pilihan ekonomis bagi Jakartensis (meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma untuk sebutan orang Jakarta dan sekitarnya di buku Affair). Meski kini ada bus TransJakarta, terbukti metro mini di terminal tidak pernah sepi dan selalu gembira berdesak-desakan di tengah keriaan macet Jakarta setiap harinya begitu kereta yang selalu ramai dinanti di stasiun-stasiun setiap pagi dan petang.

Ketika menumpangi kereta ekonomi dari Pondok Cina ke Pasar Minggu yang jaraknya tidak seberapa jauh, seorang teman mati-matian berusaha melindungi saya dan memberi ruang yang cukup untuk saya bergerak. Saya tersenyum ketika sebelum kereta datang dia mewanti-wanti saya untuk meletakan ransel, handphone dan dompet di bagian depan agar mudah dijaga. Saya menghargai usahanya untuk menjadi seorang teman yang baik waktu itu, plus bertanya-tanya untuk apa kecemasan dan kondisi ini terus dipelihara. Teman saya ini tidak pernah tahu bahwa walau satu setengah tahun itu bukan waktu yang lama untuk menguasai Jakarta, tapi kondisi hidup saya waktu itu cukup untuk membuat saya dekat dengan realitas sosial terminal dan stasiun, sehingga ketika kembali datang untuk sebuah kegiatan waktu itu saya sudah tidak lagi kaget. Saya mengapresiasi sikap teman saya itu dan mengganggapnya memberikan ingatan demi kasih sayang seorang teman baru yang memang lahir besar dan tinggal di Jakarta.  

Saya adalah pengagum berat para pengamen metro mini dan kereta di Jakarta dengan variabel penilaian sederhana yang kalau bukan disebabkan suara mereka yang bagus atau lagu yang mereka dibawakan pasti karena tatapan mereka yang memancarkan daya hidup yang luar biasa.

Jakarta adalah kota yang romantis. Seringkali dengan sekuat tenaga ingin kita tinggalkan tapi dengan sangat berat hati pula akan kita lepaskan ketika harus ditinggalkan. Jakarta adalah megapolitan dengan layar pertunjukan yang tidak pernah digulung karena sandiwara/fragmen kehidupan senantiasa terputar tanpa henti.  Jakarta adalah kota kemanusiaan tempat setiap orang berjuang mempertahankan hidup, berkejar-kejaran dengan waktu demi segenggam berlian.

Setiap kali menginjakkan kaki di Jakarta saya selalu menyadari bahwa di Jakarta seribu satu peristiwa dapat terjadi dalam sepersekian detik berikut pandangan dan tafsiran yang menyusul kemudian. Dari metro mini, gerbong kereta ekonomi, stasiun-stasiun, terminal-terminal, semua ruang hidup yang sering kali dianggap gelap dari Jakarta sungguh hati dan batin manusia sering kali dimanusiakan.

Jangan buang mukamu ke jendela atau sibuk sendiri terhadap siapapun pejuang di metro mini atau kereta atau di manapun karena sungguh di kota yang kebahagiannya pun menjadi komoditi, senyum adalah sesuatu yang juga berharga berdampingan dengan receh-receh yang dikumpul setiap harinya. Sedikit saja dan jangan lupa lindungi dirimu meski “celaka” itu datangnya dari riwayat Tuhan, maka kamu adalah manusia yang manusiawi karena belajar menerima hidup dengan ikhtiar.

Sampai jumpa kembali JAKARTA, lain waktu. :)
  

0 komentar:

Posting Komentar