 |
“Paper Bird”
by motulz http://instagr.am/p/FikfO/ |
Ke mana lagi aku harus pergi
Ketika rumah-rumah terbakar amarah
Ke mana lagi arah untuk aku berlari
Ketika jalan-jalan hanya digenangi
darah
Di depan pintu aku melihat kepalsuan
terukir di kayu
Terpahat juga di jendela yang membuatnya
berubah menjadi kaku
Angin membawa kabar tentang tragedi
Dinding-dinding berbicara dalam ribuan
bahasa yang tidak aku mengerti
Untuk apa ada kata merdeka
Bila diri-diri masih selalu mau
menjadi yang paling berhak menanam kuasa
Untuk apa ada pekikan kata mari berjuang
Bila ternyata kita setiap hari semenjak
lahir telah terus-terusan beradu memasang taruhan demi bisa menjalani perjuangan
hidup dengan garang
Burung Pombo bertengger membawa tanda
Sebagai sebuah isyarat bahwa alam tidak
akan tinggal diam dan bisa punya suara
Sudah terlalu banyak dusta di antara kita
Yang dibungkus dengan daun pisang,
diasar dengan dibara lalu dijepit lalu dimakan dengan air gula
Di mana lagi rumah tempat aku pulang
Ketika rahim ibu telah disarangi dengan
timah panas
Di mana lagi liang lahat tempat nisanku
terpasang
Bila selangkangan kini menjadi barang
yang dijual murah lalu dicabik-cabik dengan ganas
Dahulu aku mendengar dongeng
Lalu aku percaya dan menuankan kebebasan
Meyakininya sesakti belati yang keluar dari
moncong-moncong senapan untuk membela harga diri yang terpasung
Namun kini aku hanya bisa diam memandang
kemuliaan
Aku telah melupakan dongeng yang kini
terdengar terlalu kekanak-kanakan lalu menggantikannya dengan percaya pada keniscayaan
untuk kembali pada kemurnian walau meski aku merasa berada dalam gersang
Samsara di pelupuk mataku, derita di ujung
lidahku, tangis di liang telingaku, air mata dalam genggamanku semua kukecap mesra,
semesra kukecup bibir perawan yang dibaluri kerinduan
Aku hanya ingin mendengar kebenaran
walaupun ternyata sakit adalah
jawabannya
kepahitan memang tidak bersanding dengan
kemanisan semacam gula-gula yang dijual di toko, atau kencing manis yang
populer meneror atau juga gadis-gadis manis-manis yang dipajang di etalase
untuk diperebutkan
sebab kepahitan adalah sebuah pilihan
katakan yang benar walaupun itu pahit
katakan iya kita berbeda lalu mulailah
berhenti berdebat dan membuang waktu untuk mencari sebab serta pembenaran
sebab kebenaran datangnya dari langit
anyamlah untuk menjadi alas tidur sekaligus selimut yang melindungi diri
dari mara bahaya, juga mantra-mantra yang ampuh menangkal serangan iblis-iblis yang mengatasnamakan kebenaran
sampai di sini kutunaikan hasratku untuk
pergi
kubayar lunas dengan bismilah meski
rumah-rumah sudah hangus terbakar dan genangan darah membuatku harus mencetak
jejak merah yang menyayat perih
aku tahu di mana aku harus pulang, aku
tahu di mana jasadku harus menyatu dengan bumi
di depan pintu dan jendela aku menemukan
langit menggemakan haru tasbih
warna kita berbeda, bentuk kita juga
berbeda, nasib kita apalagi
tapi tunggulah aku di batas kesakitanmu
dengan api di tangan, aku akan menjemputmu maka teruslah suarakan kebenaran
meski perih membuatmu sekian kali ingin menyerah
kita akan pergi, pulang dan dikebumikan
di hati
Tempat lima dasar, Pancasila sakti kuasa
menjadi juara maka usah lagi ada gelisah
mari mati lahir baru
heka leka
lawamena
---
Menteng, 1 Juni 2011 – 05.30
*) ditulis untuk dibacakan dalam obrolan hari lahir Pancasila