Hampir malam, ketika itu. Aku tidur direrumputan. Menyibak ilalang.
Memperbaiki bayang-bayang. Lalu datang bau tajam. Menusuk dari bawah, mendesak
naik lalu memenuhi udara. Tulang-tulang penuh darah, keluar mencari makan—menembus
kulit.
Amis, aku mencium amis. Amis yang datang dari tubuhku
sendiri. Lalu aku bingung, berusaha mengajaknya bicara. “Tulang-tulang mengapa?”
tapi tulang-tulang diam tak punya suara. “tulang-tulang ada apa? Tulang-tulang
tetap tak menjawab, tetap keluar—tetap kemana-mana.
Tulang-tulangku. Masihkah jadi tulang-tulangku. Mengapa tak
bicara padaku. Mengapa pergi meninggalkan aku.
Sebelum aku terbaring disini. Jauh sebelum jasadku lahir. Jauh
sebelum tulang-tulang berdarah-darah menembus kulit. Di langit, tulang-tulang pernah
dijanji. “kelak sekalian dari kamu—wahai tulang-tulang rusuk akan dipertemukan
kembali. Membayar rindu, selamanya hidup bersama”.
Tidak ada air mata, tulang-tulang tidak pernah punya air
mata. Tulang-tulang pula tidak pernah punya pilihan. Hanya bisa menerima. Lalu bila
ternyata tulang-tulang rusuk tidak dipertemukan kembali. Tulang-tulang akan
busuk. Akan keluar membayar rindu, masuk ketanah mencari pasangannya yang
tertimbun tanah merah yang masih basah.
Lalu kini aku menangis. Menyaksikan tulang-tulangku keluar. Menjadi
bukan tulang-tulangku. Mencari tubuhmu. Mencarimu yang mati membawa pergi keinginanku,
harapanku dan semua pakaian yang masih membungkus urat kemaluanku untuk tidak menjadi gila
karena terlalu lama berjarak darimu. Tuhan mungkin punya rencana lain, tapi
tulang-tulang rusukku memilihmu. Sudah keluar, berdarah-darah menuju
rumah barumu yang basah dengan air hantaran dan air mataku yang jatuh mengalir membelah lautan. Aku menangis, melepas tulang-tulang rusukku busuk ditelan kerinduan.
Tulang-tulang rusukku adalah tulang-tulang rusukmu. Begitupun
begitu.
0 komentar:
Posting Komentar