Tulang-tulang yang busuk

Share on :
Hampir malam, ketika itu. Aku tidur direrumputan. Menyibak ilalang. Memperbaiki bayang-bayang. Lalu datang bau tajam. Menusuk dari bawah, mendesak naik lalu memenuhi udara. Tulang-tulang penuh darah, keluar mencari makan—menembus kulit.

Amis, aku mencium amis. Amis yang datang dari tubuhku sendiri. Lalu aku bingung, berusaha mengajaknya bicara. “Tulang-tulang mengapa?” tapi tulang-tulang diam tak punya suara. “tulang-tulang ada apa? Tulang-tulang tetap tak menjawab, tetap keluar—tetap kemana-mana.

Tulang-tulangku. Masihkah jadi tulang-tulangku. Mengapa tak bicara padaku. Mengapa pergi meninggalkan aku.

Sebelum aku terbaring disini. Jauh sebelum jasadku lahir. Jauh sebelum tulang-tulang berdarah-darah menembus kulit. Di langit, tulang-tulang pernah dijanji. “kelak sekalian dari kamu—wahai tulang-tulang rusuk akan dipertemukan kembali. Membayar rindu, selamanya hidup bersama”.

Tidak ada air mata, tulang-tulang tidak pernah punya air mata. Tulang-tulang pula tidak pernah punya pilihan. Hanya bisa menerima. Lalu bila ternyata tulang-tulang rusuk tidak dipertemukan kembali. Tulang-tulang akan busuk. Akan keluar membayar rindu, masuk ketanah mencari pasangannya yang tertimbun tanah merah yang masih basah.

Lalu kini aku menangis. Menyaksikan tulang-tulangku keluar. Menjadi bukan tulang-tulangku. Mencari tubuhmu. Mencarimu yang mati membawa pergi keinginanku, harapanku dan semua pakaian yang masih membungkus urat kemaluanku untuk tidak menjadi gila karena terlalu lama berjarak darimu. Tuhan mungkin punya rencana lain, tapi tulang-tulang rusukku  memilihmu. Sudah keluar, berdarah-darah menuju rumah barumu yang basah dengan air hantaran dan air mataku yang jatuh mengalir membelah lautan. Aku menangis, melepas tulang-tulang rusukku busuk ditelan kerinduan.

Tulang-tulang rusukku adalah tulang-tulang rusukmu. Begitupun begitu.


0 komentar:

Posting Komentar