Bukan sesuatu yang berlebihan bila mengatakan selain bencana,
sepak bola adalah hal lain yang dapat mengeratkan rasa persaudaraan dan
kebangsaan bangsa Indonesia. Lautan manusia, sorak-sorai, dukungan semangat dan
doa yang mengalir kencang untuk tim sepak bola kita di final malam ini adalah
satu lagi bukti dari pendapat tersebut. Sepak bola sebagai sesuatu yang
bernilai penting memang bukan baru terjadi malam ini, sepak bola adalah sesuatu
yang masih “benar-benar” milik rakyat, masih benar-benar bisa melambungkan
harapan setiap orang setinggi-tingginya dan yang terpenting hasil dari setiap
pertandingan, apapun itu adalah milik semua rakyat Indonesia.
Seorang ibu disamping saya ngos-ngosan menyemangati tim garuda muda yang berjibaku selama 2 x 45 menit waktu normal dan perpanjangan waktu 2 x 15 menit. Ketika kiper Kurnia Meiga berhasil menepis tendangan pinalti salah satu pemain Malaysia, ibu tersebut berteriak kencang tanda tim yang didoa-doakannya masih punya harapan untuk menang. Ketika tendangan Ferdinan Sinaga mampu ditahan dan Badrol berhasil menjadi algojo yang menjebol gawang Indonesia, ibu tersebut menitikan air mata. Harapannya pupus, Indonesia berhasil kalah dalam drama adu pinalti seperti yang pernah terjadi sebelumnya di tahun ’97 melawan Thailand.
Air mata si ibu, teriakan-teriakan kekecewaan dan arus
komentar di timeline twitter saya membuat saya percaya bahwa bangsa ini saling
mencintai, bangsa ini saling mendoakan dan bangsa ini saling mendambakan
kemenangan yang jadi milik mereka seseungguhnya. Hal-hal berbau politik menjadi
tidak penting, ketidak merataan ekonomi dan persoalan kelas menjadi dilupakan,
semua punya satu tujuan yang sama—berteriak paling kencang mendukung tim
kebanggaannya.
Selain bersedih atas kekalahan garuda muda, dari akun
twitter sebuah situs pemberitaan juga kita pantutnya bersedih atas korban
meninggal di GBK yang terinjak-injak atau sesak napas atau apapun alasan yang
sebenarnya terjadi namun hal tersebut secara rasional dapat menjadi alat ukur
kita bahwa “rakyat Indonesia adalah rakyat yang rela meregang nyawa demi
memperjuangkan aoa yang dicintainya”. Sepak bola memang tidak lebih rumit dari
persoalan bernegara dan tidak dapat dibanding-bandingkan sampai kapanpun namun sepak
bola adalah sebuah simbol yang membuktikan bangsa ini masih bersatu dan yang
istimewa; bersatu dengan cara yang teramat sederhana.
Titus Bonai, Patrich Wanggai dan Okto Maniani, tiga orang Papua yang menjadi ujung tombak sekaligus bintang dalam sekian pertandingan di
laga SEA Games tahun ini juga adalah bukti bahwa anak bangsa yang hajat hidup
bangsanya sendiri sampai detik ini masih menjadi taruhan dan perahan di
tanahnya sendiri mampu total memperjuangkan kebanggaan untuk negaranya. Sungguh
sesuatu yang kiranya patut diapresiasi pemerintah dengan lebih memperhatikan persoalan-persoalan yang terjadi di Papua dan yang terpenting bisa menjadi nilai semangat yang bisa diamalkan dalam kehidupan
kebangsaan “orang Indonesia” seutuhnya.
Kita kalah, tapi kita telah terhormat karena telah berjuang
mati-matian dan akhirnya kemenangan memang belum diberikan untuk kita karena
mungkin kita masih harus terus berbenah, memaksimalkan lagi seluruh potensi
yang kita punya untuk sebuah kemenangan yang akan kita raih nantinya. Mari kembali
bersabar, terus berjuang lalu biarkan sepak bola tetap jadi milik rakyat, dari
rakyat dan untuk rakyat.
Menutupnya, mari angkat topi untuk timnas garuda, saling peluk
hangat untuk semua saudara sebangsa dan setanah air yang telah membuat harapan
dan berdoa untuk sebuah kemenangan. Percayalah bangsa kita adalah bangsa yang
besar, kita pasti menang: suatu hari nanti. Amin :)
0 komentar:
Posting Komentar