![]() |
Aan Mansyur |
Saya akhirnya bertemu
Aan Mansyur yang di bicarakan itu. Kami mengobrol banyak dan tentu saya lebih
banyak mendengar. Laki-laki sederhana yang karya-karyanya tidak biasa itu berbagi
banyak hal, menjawab bertubi-tubi pertanyaan “acak” saya dengan lebih banyak cerita
tentang dirinya sendiri; tentang bagaimana dirinya berkarya. Aan menyampaikan
kecemasan (ini kata saya. Saya anggap Aan Cemas) dengan minimnya sastrawan/penyair
muda dari timur Indonesia. Berulang kali Aan menyampaikan rasa cintanya pada
kota Ambon, Maluku tempat lahir sekaligus tempat tinggal saya. Aan bilang “kamu
bisa menulis keindahan yang ada disana” dan laki-laki itu telah memulainya jauh
sebelum kalimat tersebut di sampaikan pada saya.
Ini adalah
postingan yang mer-repost enam puisi Aan Mansyur dari perjalanannya mengelilingi
kepulauan Maluku yang saya percaya bisa jadi cambuk serta penyemangat
sasatrawan Muda Maluku . Tentang perjumpaan bersama Aan mungkin akan saya
ceritakan lebih panjang suatu hari nanti. Intinya saya bersyukur telah bertemu,
bertatap-tatapan dan lebih dari itu bisa saling berpelukan (berkali-kali). Semoga
ide dan keinginan kita bisa segera terwujud. Aan terima kasih :)
-----
Di Pantai Nestapa
seperti pesanmu datanglah sebulan
sebelum lebaran, aku kembali tiba
di Ambon membawa rencana liburan
maka dari Pintu Kota kau ajak aku
santai di Pantai Natsepa. sangat baik
buat orang-orang dirundung murung,
jelasmu.
setelah peperangan yang membantai
banyak keluarga, teman dan tetanggamu
itu melandai, pantai jadi ramai ditandangi
orang—sebab nestapa selalu butuh ombak
untuk menjauhkan lalu mengembalikannya
ke benak
di sinilah, katamu, di Pantai Natsepa ini,
kenangan itu selalu memperbaharui dirinya,
selalu menyadarkanmu bahwa ramah dan marah
bisa bertukar tempat seketika
kau mengingat senyum-tangis kekasihmu
yang mati kau tikam beberapa menit saja
seusai kau mencium bibirnya. kenangan itu
selalu kau ingat, kenangan itu selalu hangat
dan kau bertanya, apakah aku membawa
nestapa dari kotaku. aku hanya terdiam
sembari merasakan ombak menjilati jemari
dua kakiku kemudian pelan-pelan memanjat
membasahi dadaku
deburan ombak Pantai Natsepa, deburan sajak
nestapa. liburan sejenak di Pantai Natsepa,
liburan rusak dibantai nestapa.
Di Pulau Yamdena
apa akan engkau katakan mendengar perempuan
berhari-hari berjalan dari bebukit batu dan berenang
melawan gelombang agar bisa jumpa hingar-pasar
untuk menukarkan hasil ladang dengan sebotol minyak
tanah dan beberapa bungkus kretek buat suami?
memang para perempuan di sini hanya pencari
dan tak ada apa yang akan mereka temukan;
terus berjalan agar tak pernah tiba, terus berenang
agar tenang dan terus mencari agar tak hilang
engkau tahu pasti aku juga memiliki tungkai
dan tangkai sekuat punya perempuan Pulau Yamdena,
maka engkau tinggalkan aku agar aku terus berjalan
dan berenang, agar aku terus mencarimu.
Di Ngur Bloat, Tual
laut sedang surut, aku lihat lunas-lunas speed boat
tenggelam di pusar-pusar pasir pantai Ngur Bloat
pohon-pohon kelapa memiringkan tubuh mereka
ingin tidur di hampar pasir seputih tepung tapioka
dua kakiku tak tega mengenakan sandal menyusuri
dua kilometer pepasir berseri-seri dipupuri matahari
di Ngur Bloat, tiada nama pantai lain sempat aku ingat
kecuali pantai di dadamu tempat perahuku tertambat
Di Pulau Marlasi
matahari membakar perjalananku menuju
Pulau Marlasi. aku merah-bara di atas sampan
yang dibasahi ombak kacau dan sesampai di bibir
pantai aku hitam-arang kayu bakau
Pulau Marlasi terlalu kucil di tengah kepungan
laut, terlalu kecil di tengah hamparan ladang air
tak berpinggir. hingga rasanya aku terapung-apung
diombang-ambing gelombang.
namun rumah- rumah berdinding-pelepah
beratap-daun rumbia tak punya wadah berisi air
dan tetamu harus sudi minum ludah sendiri
sambil menunggu tuan rumah yang berjalan
tiga hingga empat kilometer di atas cadas batu
mencari akar-akar pepohonan yang ingin berbagi
sedikit darah.
langit yang panen setiap hari dari ladang air
di pekarangannya tak mau membagi manis-tawar
bebuahan kepada Pulau Marlasi.
namun di dada mereka yang tipis, para lelaki
menggali perigi. di rahim mereka yang kempis,
para perempuan mengandung telaga.
di Pulau Marlasi yang kering di tengah subur
ladang air, sungguh, aku ingin belajar menahankan
segala dahaga.
Di Kepulauan Aru
hujan memburu tubuhku jauh hingga di sini,
di Kepulauan Aru, hujan yang membawa serta dirimu
yang aku tinggalkan di rumah, remah-remah kemarahan
yang ingin aku singkirkan menjelma menjadi lumpur
yang mengotori sepatu dan ujung-ujung celanaku.
aku pikir di jarak ribuan dari rumah akan aku temukan
langit yang sehat, langit yang tidak senang bersedih,
langit yang kuat menahan air mata. tapi di manapun,
tak terkecuali di Kepulauan Aru, langit mudah terharu.
maka di kamar hotel aku mengurung diri, namun di terang
siang hari jendela memperlihatkan pasukan awan kehausan
meminum berlaut air sampai perutnya kembung dan sakit—
ia menangis sepanjang malam persis caramu menangis
membuat aku rindu dan ingin segera pulang.
sebab semakin sendiri di tengah hujan semakin ramai
kesedihan. sebab semakin samar suara tangismu semakin
bergetar dadaku.
Tato di Lengan Seorang Lelaki dari Saumlaki
Aku bertemu seorang lelaki dari Saumlaki di atas perahu
yang menyeberangkan aku dari satu pulau ke lain pulau.
Ia mengenakan satu tato berwarna ungu di bahu kanannya
bertuliskan nama perempuan, mungkin nama kekasihnya.
Tak ada seorang pun dilahirkan untuk jadi penyair di sini.
setiap lelaki hanya boleh memilih jadi pelaut atau petani
dan perempuan hanya jadi istri dan mencintai lelaki
melebihi cinta yang bisa mereka beri bagi diri sendiri.
Maukah, harap lelaki itu, tatoku ini kau jadikan sebuah sajak?
seorang tertidur di bahuku dan aku menjaganya dengan tato.
Kau tahu, seseorang yang tertidur di bahumu adalah beban,
tuliskanlah ke dalam sajak, agar kita bisa berbagi beban.
Setiap hari, katanya, aku melepas ikan-ikan ke tidurnya.
Aku ingin ikan-ikan itu memainkan ombak rambutnya.
Tak aku biarkan angin timur merusak pantai matanya.
Dan di dalam sajak kelak kau saksikan pohon kelapa
tumbuh berjejer menyerupai bulu mata paling indah.
Sesampai di pantai, aku tak menemukan satu pun kalimat
Aku tak bisa jadi penyair di sini. Di kamar hotel aku ingat
nama di bahu lelaki itu. Tapi kertas di depanku cuma kertas
kosong seperti tidur tak dikunjungi mimpi, tidur yang tak berisi
ikan yang sedang bermain-main di ombak rambut perempuan itu.
seperti pesanmu datanglah sebulan
sebelum lebaran, aku kembali tiba
di Ambon membawa rencana liburan
maka dari Pintu Kota kau ajak aku
santai di Pantai Natsepa. sangat baik
buat orang-orang dirundung murung,
jelasmu.
setelah peperangan yang membantai
banyak keluarga, teman dan tetanggamu
itu melandai, pantai jadi ramai ditandangi
orang—sebab nestapa selalu butuh ombak
untuk menjauhkan lalu mengembalikannya
ke benak
di sinilah, katamu, di Pantai Natsepa ini,
kenangan itu selalu memperbaharui dirinya,
selalu menyadarkanmu bahwa ramah dan marah
bisa bertukar tempat seketika
kau mengingat senyum-tangis kekasihmu
yang mati kau tikam beberapa menit saja
seusai kau mencium bibirnya. kenangan itu
selalu kau ingat, kenangan itu selalu hangat
dan kau bertanya, apakah aku membawa
nestapa dari kotaku. aku hanya terdiam
sembari merasakan ombak menjilati jemari
dua kakiku kemudian pelan-pelan memanjat
membasahi dadaku
deburan ombak Pantai Natsepa, deburan sajak
nestapa. liburan sejenak di Pantai Natsepa,
liburan rusak dibantai nestapa.
Di Pulau Yamdena
apa akan engkau katakan mendengar perempuan
berhari-hari berjalan dari bebukit batu dan berenang
melawan gelombang agar bisa jumpa hingar-pasar
untuk menukarkan hasil ladang dengan sebotol minyak
tanah dan beberapa bungkus kretek buat suami?
memang para perempuan di sini hanya pencari
dan tak ada apa yang akan mereka temukan;
terus berjalan agar tak pernah tiba, terus berenang
agar tenang dan terus mencari agar tak hilang
engkau tahu pasti aku juga memiliki tungkai
dan tangkai sekuat punya perempuan Pulau Yamdena,
maka engkau tinggalkan aku agar aku terus berjalan
dan berenang, agar aku terus mencarimu.
Di Ngur Bloat, Tual
laut sedang surut, aku lihat lunas-lunas speed boat
tenggelam di pusar-pusar pasir pantai Ngur Bloat
pohon-pohon kelapa memiringkan tubuh mereka
ingin tidur di hampar pasir seputih tepung tapioka
dua kakiku tak tega mengenakan sandal menyusuri
dua kilometer pepasir berseri-seri dipupuri matahari
di Ngur Bloat, tiada nama pantai lain sempat aku ingat
kecuali pantai di dadamu tempat perahuku tertambat
Di Pulau Marlasi
matahari membakar perjalananku menuju
Pulau Marlasi. aku merah-bara di atas sampan
yang dibasahi ombak kacau dan sesampai di bibir
pantai aku hitam-arang kayu bakau
Pulau Marlasi terlalu kucil di tengah kepungan
laut, terlalu kecil di tengah hamparan ladang air
tak berpinggir. hingga rasanya aku terapung-apung
diombang-ambing gelombang.
namun rumah- rumah berdinding-pelepah
beratap-daun rumbia tak punya wadah berisi air
dan tetamu harus sudi minum ludah sendiri
sambil menunggu tuan rumah yang berjalan
tiga hingga empat kilometer di atas cadas batu
mencari akar-akar pepohonan yang ingin berbagi
sedikit darah.
langit yang panen setiap hari dari ladang air
di pekarangannya tak mau membagi manis-tawar
bebuahan kepada Pulau Marlasi.
namun di dada mereka yang tipis, para lelaki
menggali perigi. di rahim mereka yang kempis,
para perempuan mengandung telaga.
di Pulau Marlasi yang kering di tengah subur
ladang air, sungguh, aku ingin belajar menahankan
segala dahaga.
Di Kepulauan Aru
hujan memburu tubuhku jauh hingga di sini,
di Kepulauan Aru, hujan yang membawa serta dirimu
yang aku tinggalkan di rumah, remah-remah kemarahan
yang ingin aku singkirkan menjelma menjadi lumpur
yang mengotori sepatu dan ujung-ujung celanaku.
aku pikir di jarak ribuan dari rumah akan aku temukan
langit yang sehat, langit yang tidak senang bersedih,
langit yang kuat menahan air mata. tapi di manapun,
tak terkecuali di Kepulauan Aru, langit mudah terharu.
maka di kamar hotel aku mengurung diri, namun di terang
siang hari jendela memperlihatkan pasukan awan kehausan
meminum berlaut air sampai perutnya kembung dan sakit—
ia menangis sepanjang malam persis caramu menangis
membuat aku rindu dan ingin segera pulang.
sebab semakin sendiri di tengah hujan semakin ramai
kesedihan. sebab semakin samar suara tangismu semakin
bergetar dadaku.
Tato di Lengan Seorang Lelaki dari Saumlaki
Aku bertemu seorang lelaki dari Saumlaki di atas perahu
yang menyeberangkan aku dari satu pulau ke lain pulau.
Ia mengenakan satu tato berwarna ungu di bahu kanannya
bertuliskan nama perempuan, mungkin nama kekasihnya.
Tak ada seorang pun dilahirkan untuk jadi penyair di sini.
setiap lelaki hanya boleh memilih jadi pelaut atau petani
dan perempuan hanya jadi istri dan mencintai lelaki
melebihi cinta yang bisa mereka beri bagi diri sendiri.
Maukah, harap lelaki itu, tatoku ini kau jadikan sebuah sajak?
seorang tertidur di bahuku dan aku menjaganya dengan tato.
Kau tahu, seseorang yang tertidur di bahumu adalah beban,
tuliskanlah ke dalam sajak, agar kita bisa berbagi beban.
Setiap hari, katanya, aku melepas ikan-ikan ke tidurnya.
Aku ingin ikan-ikan itu memainkan ombak rambutnya.
Tak aku biarkan angin timur merusak pantai matanya.
Dan di dalam sajak kelak kau saksikan pohon kelapa
tumbuh berjejer menyerupai bulu mata paling indah.
Sesampai di pantai, aku tak menemukan satu pun kalimat
Aku tak bisa jadi penyair di sini. Di kamar hotel aku ingat
nama di bahu lelaki itu. Tapi kertas di depanku cuma kertas
kosong seperti tidur tak dikunjungi mimpi, tidur yang tak berisi
ikan yang sedang bermain-main di ombak rambut perempuan itu.
0 komentar:
Posting Komentar