Ombak-ombak Kecil di Mentawai

Share on :
senyum anak mapinang menyambut kami
Di balik awan gelap dan mendung kelabu
Ada terang dan harapan baru
Jangan menyerah, sambung asamu
Kau tak sendirian, ku bersamamu

Begitu kurang lebih lirik lagu berjudul harapan yang dinyanyikan Jflow dan Guntur untuk campaign @savementawai yang digerakan oleh green music fondation. Sebelum terjadi bencana gempa dan tsunami di Pandang 2010, secara spesifik saya tidak begitu mengetahui perihal kepulauan yang ternyata elok dan memikat bernama mentawai. Dari berita-berita dan informasi-informasi yang saya telusuri, sedikit demi sedikit saya mengetahui hal-hal menarik yang tidak bisa ditolak untuk menjadikan mentawai sebagai salah satu tempat yang paling ingin saya pijaki. Tuhan maha baik, minggu lalu saya akhirnya berkunjung ke sana sebagai relawan pondok cerdas Indonesia.

Pondok cerdas Indonesia atau yang kemudian kami sebut #pondasi adalah Iearning center yang disediakan untuk kemudian dikelola oleh masyarakat setempat. Pondasi merupakan exit program @savementawai setelah sebelumnya menjalankan serangkaian program sebagai bagian dari emergency response dan penanganan pasca bencana seperti distribusi pangan, logistik, obat-obatan, tenaga medis dan lain sebagainya terhitung 5 minggu setelah bencana terjadi.


Awal Juli 2011 silam secara tidak sengaja saya berkesempatan hadir dalam salah satu acara yang diselenggarakan Green Music Foundation dan untuk pertama kali berkenalan dengan Angga Sasongko, satu dari sekian motor yang menjalankan @savementawai. Dari angga saya dengar banyak cerita tentang “apa yang sudah dan akan dilakukan” di mentawai. Dari Angga saya mengetahui tentang rencana akan didirikannya pusat kegiatan masyarakat yang meletakan pendidikan sebagai ujung tombak keberadaan tempat tersebut. seperti halnya pelosok-pelosok di daerah-daerah lain di negeri ini, dusun-dusun di mentawai juga rata-rata mengalami minimnya akses dan sarana pra-sarana penunjang aktifitas masyarakat seperti misalnya pendidikan, jelas Angga. Sejak saat itu saya langsung menaruh simpati,

Sebagai seseorang yang dilahirkan dan dibesarkan di daerah yang juga menghadapi banyak masalah serupa membuat saya senantiasa menerima semua semangat “kepedulian” untuk mendorong perbaikan yang disebabkan oleh belum meratanya pembangunan. Apa jadinya bila untuk menjadi cerdas, seorang anak yang hidup dipedalaman harus menyerah pada kenyataan karena ditempat dia tinggal apa yang dibutuhkannya tidaklah tersedia. Ada banyak celah dari amanat konstitusi yang dapat digunakan untuk menggugat pembangunan berikut hasilnya bila berhadapan dengan realitas tersebut diatas namun bagi saya pribadi sinergi positif yang bisa diciptakan kelompok-kelompok diluar pemerintah yang berlandaskan “murni” rasa ingin membantu dan menolong sesama adalah pilihan ideal untuk mengupayakan perbaikan hidup masyarakat, pondok cerdas Indonesia yang dibuat green music foundation.

Singkat cerita, nasib baik dan kesamaan persepsi menghantarkan saya masuk menjadi bagian dari relawan @savementawai yang berdasarkan penuturan selalu berganti-ganti berdasarkan waktu dan kesempatan yang dimiliki. Bersama tiga rekan lain yakni Angga Sasongko, Oksy Rahim dan William Siwalette saya akhirnya menginjakan kaki di Mentawai untuk program terakhir yakni pendistribusian buku ke pondasi yang telah dibangun.

Ada rasa haru tersendiri ketika tiba di pelabuhan sikakap dan dijemput dengan boat “nusa bangsa” milik green music foundation yang sudah sering sekali saya dengar ceritanya. Dari riwayatnya, nusa bangsa adalah boat yang beroperasi siang dan malam ketika tanggap darurat karena keterbatasan sarana transportasi. Saya berkenalan dengan pak oyon dan pak rusli, dua orang yang juga sudah banyak saya dengar lewat cerita yang adalah operator boat yang luar biasa tersebut.

Setelah menurunkan semua bawaan dari KMP Ambu-Ambu, satu-satunya kapal penyebrangan ASDP yang beroperasi di Mentawai, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah penginapan yang bagi Oksy Rahim lebih menarik disebutnya sebagai camp relawan. Perasaan "seperti pulang" layak untuk disandangnya karena tempat tersebut sudah seperti rumah ke dua baginya.


Menikam jantung di Mapinang, merebah di pesisir Pasapuat.
---

nusa bangsa @ mapinang

Dua hari terperangkap di sikakap yang berada di garis pantai dengan pasar yang hanya ramai di hari bandar dan dengan infrastruktur informasi telekomunikasi yang berantakan adalah seperti ikan yang terperangkap ke dalam jala nelayan, tak dapat ditolak kecuali menerima untuk menjadi nilai kemudian. Sesuai jadwal seharusnya setelah tiba di Sikakap selasa malam, kami sudah dapat bergerak menuju dusun pertama pada hari kamis tapi beberapa kendala operasional seperti tingginya harga bensin dan kenyataan bahwa pondok cerdas di pasapuat belum rampung di bangun yang mengakibatkan kami harus menunggu lagi kiriman uang untuk membeli kayu membuat kami terpaksa merubah jadwal keberangkatan.

Jumat 17 februari, hari masih pagi benar tapi pak oyon dan pak rusli sudah sibuk mengangkut barang-barang yang akan kami bawa ke dusun Mapinang sebagai dusun pertama yang akan kami datangi tempat pondasi kami berdiri. Dari Oksy saya tahu bahwa kami akan mengalami perjalanan laut selama 2 jam yang menakjubkan karena melintasi barisan pulau dan ombak yang menawan, sesuatu yang sungguh sulit dibayangkan sebenarnya kecuali mengalaminya langsung

Mapinang adalah salah satu dusun yang mengalami kerusakan parah akibat pasangnya air laut akibat gempa. Setibanya di sana kami lalu menyusuri pantai untuk langsung bertemu bekas kampung yang kini sudah ditinggalkan. Sebagai seseorang yang menyaksikan Mapinang sebelumnya hanya lewat gambar foto dan vidio, ada rasa haru yang membuncah menyaksikan bangunan-bangunan rumah dan jalan-jalan setapak yang kini sudah tinggi tertutup alang-alang. Kami akan berjalan kaki kurang lebih 4-5 kilo untuk menemukan lokasi pemukiman baru yang berada di daerah dataran tinggi dengan tentu saja membawa serta buku-buku dan barang bawaan kami yang lain.

Sepanjang jalan kami bertemu orang-orang kampung yang menuju pantai untuk beraktifitas. Orang-orang mapinang adalah orang-orang yang ramah menurut saya, senyum dan cara mereka bertegur sapa adalah ukurannya. Kami menyusuri hutan, menanjaki satu demi satu bagian tanjakan menuju lokasi yang lebih tinggi. Di salah satu bagian, kiri dan kanan jalan tempat kami melintas terdapat semacam bekas perkampungan yang kembali dari oksy dijelaskan sebagai bekas camp pengungisan.

Kurang dari dua jam kami akhirnya tiba di lokasi pemukiman yang baru dusun yang bertempat di kecamatan Pagai Selatan dengan 80 kepala keluarga ini. Anak-anak yang sebelumnya telah mendengar kabar kedatangan kami sudah berkumpul, berlarian di jalanan menuju pondok cerdas. Rasa haru kembali pecah, tiada terasa lagi rasanya setiap tetes keringat seukuran biji jagung yang menetes dari dahi hingga membasahi tulang belakang kami. Hanya senyum yang tertinggal, senyum anak-anak Mapinang.

Singkat cerita kami merapikan semua bawaan kami dan mengaturnya di rak-rak buku yang sudah tersedia. Pondasi Mapinang didirikan beramai-ramai oleh masyarakat, sebuah harapan yang tidak bisa disangkal untuk kehidupan yang lebih baik. Begitu buku-buku selesai kami atur, anak-anakpun berhambur masuk ke dalam begitu dipersilahkan. Mereka duduk "tidak" rapi, ada yang berpakaian lengkap namun ada pulayang bertelanjang dada.

Angga Sasongko menjelaskan perihal pondok cerdas indonesia secara singkat dan membagikan kepada mereka bingkisan berupa buku tulis, buku gambar, alat tulis dan alat mewarnai yang kami persiapkan. Begitu dikasi kesempatan, saya langsung mengajak mereka bertepuk tangan untuk diri mereka sendiri yang disambut dengan tepuk tangan yang ramai namun ketika saya menggemakan pertanyaan "siapa yang mau cerita tentang cita-citanya?" Tak ada satupun anak yang menggubris, saya kemudian dibisiki bapak eventus, sesorang yang kami percayai untuk mengelola pondasi mapinang bahwa anak-anak tersebut tidak begitu mengerti bahasa indonesia, mereka sehari-hari hidup dengan menggunakan bahasa ibu mereka sendiri. Saya tersenyum mendengar itu lalu meminta mereka bertepuk tangan lagi dan memberi tantangan mereka untuk menggambar. Saya berbicara tetap dalam bahasa indonesia namun diikuti isyarat, gerakan-gerakan yang mudah dipahami dan mereka mengerti. Menggambarlah kemudian anak-anak tersebut sesuka hati mereka.

Sungguh kami takjub melihat apa yang ada di pelupuk mata kami, sebuah kenyataan bahwa ketidakmerataan akses masih terus terjadi di tanah air ini, bayangkan saja sekelompok anak yang masih memandang buku gambar dan pensil warna sebagai barang baru. Sungguh miris rasanya. Setelah selesai menggambar dan bernyanyi bersama, kami memperkenalkan satu per satu buku yang kami bawa. Mereka mengikuti secara seksama lalu berhamburan menuju rak buku yang mereka inginkan dan membaca (saya lebih percaya sebenarnya mereka hanya melihat lihat, tidak membaca tapi itu saja cukup karena setidaknya mereka sudah memulai).













sebagian aktivitas kami di mapinang dan pasapuat
 Sebelum sore kami akhirnya harus dengan berat hati meninggalkan pondasi mapinang. Orang tua, anak-anak, bapak kepala dusun dan pak eventus melepas kami. Rasa haru lagi-lagi tak dapat dibendung, jantung seperti tertusuk bahwa masih banyak saudara kita hidup serba berkekurangan, jauh dari fasilitas pendidikan yang memadai, tak berlisitrik dan tetap menjadi warga negara indonesia yang hanya bisa terima saja segala tetek bengek kebijakan pemerintahnya.

Lain di mapinang lain pula di pasapuat. Dusun yang dijangkau dengan waktu 1 jam perjalanan laut itu masih lebih baik kondisinya dibanding dengan mapinang karena memiliki infrastruktur setidaknya sekolah dasar yang memadai namun tidak dengan kondisi pondok cerdas yang kami bangun. Dari penjelasan singkat oksy rahim yang sejak awal memimpin program tersebut, kami tahu bahwa orang yang dipercayakan untuk bertanggung jawab telah menggelapkan uang oprasional pembangunan tempat tersebut sehingga akhirnya terbengkalai. Dari sikakap kami memang sudah mengetahui detail kondisi pondasi pasapuat sehingga kebutuhan akan kayu dan lain-lain telah kami siapkan.

Setibanya kami di lokasi pondasi, rasa sayang teramat sangat menguap mengingat pondasi di mapinang berdiri megah dan merupakan hasil swadaya masyarakat. Di pasapuat, pondasiterbengkalai dengan kondisi kira-kira 75% rampung, lantai depan dan dinding bagian belakang belum sepenuhnya terpasang sedangkan kami hanya punya waktu satu malam karena Senin sekitar pukul 10 sudah harus bertolak menuju Tuapejat.

Pendek cerita sekitar jam dua siang begitu tiba kami lalu mengangkut barang-barang berikut matrial yang harus kami bawa dengan bantuan pinjaman motor dan tenaga beberapa anak muda yang sayangnya harus kami imbali dengan sejumlah uang pun setelah melakukan negosiasi yang lumayan alot. Dikepala saya problem ekonomi jelas menjadi salah satu ukuran tingkat partisipasi masyarakat bahkan di bidang pendidikan dan menyangkut fasilitas yang disediakan secara "cuma-cuma" untuk peningkatan kualitas SDM sekitar.

Dengan waktu terbatas kami termasuk pak oyong dan pak rusli dibantu kepala tukang mulai mengerjakan segala kekurangan dari bangunan pondok cerdas pasapuat. Saya dan William mulai membangun jalan masuk menuju pondok cerdas yang masih ditumbuhi rumput sedang Angga, Oksy dan yang lain mulai menggergaji papan untuk membangun dinding, lantai dan rak buku. Kurang dari 4 jam kami berhasil merampungkan pekerjaan kami.

Malam turun, kamipun meninggalkan pondasi untuk menginap di salah satu rumah penduduk dengan rencana kembali lagi untuk berjumpa anak-anak pasapuat besok paginya sebelum bertolak menuju Tuapejat.

Keesokan harinya kami berjumpa anak-anak pasapuat setelah upacara bendera. Anak-anak di pasapuat lebih apresiatif menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami berikan. Beberapa anak menjawab ingin jadi dokter, beberapa yang lain ingin jadi pelaut dan beberapa lagi cita-cita lain, akses pendidikan yang lebih baik menyebabkan anak-anak pasapuat lebih apresiatif dari anak-anak mapinang yang malu-malu. Keduanya punya model dan ciri yang berbeda namun tentang kesan tentu sama-sama mendalam.
pondasi mapinang

pondasi pasapuat
Perjalanan ke pondok cerdas indonesia di Mapinang dan Pasapuat telah mengkristalkan nilai tersendiri bagi kami, bahkan secara pribadi meski terlahir dan besar di ambon dengan melihat serta merasakan realitas yang sama, ketidakmerataan akses adalah bukti bahwa masih banyak yang harus dibenahi di negeri ini sehingga sinergi kekuatan sosial berlandaskan rasa peduli dan semangat satu bangsa sama rasa adalah kekuatan besar yang harus terus dilebarkan sayapnya. Lupakan negara, genggam tangan saudaramu lewat aksi yang nyata.

Di mapinang dada saya tertusuk sebait kalimat sederhana bapak kepala dusun "semangat kebangsaan sebaiknya lahir dari kaki-kaki yang jauh menyusuri rimba, membelah lautan menuju jantung tanah pusaka untuk melihat realitas kehidupan bangsa yang sebenarnya". Di Pasapuat saya rebah di pesisir menyaksikan ombak dan berucap syukur "kami akan belajar menjadi indonesia", 


Dari jakarta ketika saya menulis postingan ini anak-anak mapinang dan pasapuat mungkin sedang bermain dan belajar di pondasi yang kami tinggalkan, menjadi ombak-ombak kecil di laut mentawai. setelah gelap dan kelabu memang akan selalu ada harapan dan harapan yang baik adalah harapan untuk menjadi lebih cerdas. mentawai sudah jauh, dekat selalu dihati. sampai kabar lagi.  







0 komentar:

Posting Komentar