Menyusun Sejarah Hidup Bersama di Ambon

Share on :

Ini adalah catatan yang lahir setelah saya membaca tulisan bersambung Gerry van Klinken tentang sejarah bersama di Ambon. Menurut peneliti senior dari Leiden tersebut, terdapat sebuah tabu/larangan perihal menceritakan kembali peristiwa konflik kemanusiaan yang pernah terjadi. Larangan menurut Gerry didasari oleh tiga alasan. Pertama karena cerita tersebut dianggap akan mengganggu keharmonisan hidup yang sudah kembali terbangun dan aka nada saling klaim “siapa benar-siapa salah”. kedua adanya indikasi bahwa bila diceritakan kembali, akan ada institusi-institusi yang akan merasa dipermalukan. Ketiga trauma psikologis dianggap akan terganggu kembali bila peristiwa tersebut diceritakan kembali.

Menurut saya, benar ketika dalam tulisan tersebut Gerry membunyikan solusi betapa pengalaman konflik yang dimiliki tersebut harus dinarasikan dalam satu materi yang dipelajari bersama mulai dari pendidikan formal hingga kehidupan sehari-hari di masyarakat. Upaya menceritakan kembali seharusnya dipandang positif karena dengan begitu ingatan akan menjadi kekuatan untuk mereduksi hal-hal negatif yang serupa (misalnya: provokasi-provokasi menyangkut isu-isu yang sensitif). Dengan menciptakan medium penyampaian cerita secara lebih ideal, cerita konflik yang pernah terjadi tidak akan kemudian menjadi hal negatif melainkan menjadi ladasan berfikir dan bersikap kritis untuk menghadapi kondisi di ambon yang masih terus berkembang.

Setelah 11 september 2011, kericuhan kembali terjadi pada tanggal; 14 mei kemarin ketika arak-arakan obor pattimura “katanya” disusupi provokator. Tidak dapat dipungkiri bahwa usia masa pasca peristiwa 1999-2003 yang belum lama mengakibatkan potensi konflik masih sangat tinggi belum lagi penanganan pemerintah yang cenderung pas-pasan dan dekat dengan aksen pembiaran (baca; proyek) membuat peristiwa apapun masih sangat mungkin untuk terjadi. Namun bila kesadaran masyarakat dibangun dari pemahaman serupa dan disertakan dengan model kehidupan yang dicita-citakan (orang Maluku punya pela gandong, hidup basudara, laeng sayang laeng-laeng lia laeng) potensi konflik bisa diredam secara massif.

Ambon atau Maluku dalam hal konflik kadang kala terkesan sebagai perkara yang sangat wajar atau untuk orang di luar Ambon atau bukan orang Maluku dipandang sebagai sikap “tidak belajar dari pengalaman” yang menurut saya tentu tidak sepenuhnya benar. Konflik di Ambon atau Maluku bukan hal wajar, orang Ambon atau Maluku juga bukan tidak belajar tapi keragaman pandangan menyebabkan banyaknya pilihan untuk menyikapi keadaan yang seharusnya menurut saya bisa dinarasikan dalam satu narasi serupa yang menjadi maklumat hidup bersama. Yaa, maklumat hidup bersama untuk menolak terulangnya peristiwa yang sama dan kembali bisa hidup berdampingan.   

2 komentar:

Hard Papeda mengatakan...

setuju dengan "Upaya menceritakan kembali seharusnya dipandang positif karena dengan begitu ingatan akan menjadi kekuatan untuk mereduksi hal-hal negatif"

menurut beta ini yg harus dilakukan. Memang akan sulit(setidaknya utk saat ini) membuat orang Ambon memandang positif usaha ini, karena hasil penceritaan akan dinilai berdasarkan siapa yg bercerita. Ratna Sarumpaet telah membuat fiksi dgn latar belakang konflik Ambon. Mungkin suatu saat nanti ada karya yg dihasilkan oleh orang Ambon sendiri.

jadi, cara pandang terhadap penceritaan kembali yg harus dibentuk. setelah itu masyarakat kota ini akan bisa menerima hasil penceritaan kembali sebagai sesuatu yg penting dan berharga, terlepas dari kelebihan dan kekurangan teknis penuturan.

Alamanda mengatakan...

Wahhh, bagus gan ceritanya. Ane tunggu ya postingan selanjutnya yang gak kalah kecenya. Thanks gan ^^

Posting Komentar