Menolak Lupa

Share on :


aku duduk di beranda; jam 7 malam itu
berfikir tentang banyak hal; lebih banyak tentangmu
tentang masa-masa silam—hari-hari suram; kemarin

pewarta bercerita banyak tentang kenang-kenangan
sedang angin masih bawa terbang kabar data dan fakta
aku mengingatmu; bersama kengiluan yang di torehkan dalam kisah pemimpin-pemimpin kita yang lalim

binasa; jasad sudah jadi abu
tapi air mata darah perjuangan yang mana yang bisa dilupa
aku menolak puji-pujian yang aku pikir pantas untuk di berikan untukmu
sebab mungkin dirimupun tidak pernah menginginkan itu

aku tulis pesan dari depan pintu; jam 7 malam itu
tepat 7 tahun; parodi kekuasaan itu memenjarakan tubuhmu
kematian boleh peroleh kisah yang sudah
tapi semangat bisa menjalar kemana-mana—keringatmu sudah tumpah, sudah merembes ke tanah

ini adalah pesanku, penolakan atas lupa
penolakan atas pengingkaran janji-janji palsu
lalu tidak akan aku kirim rangkaian bunga untuk mengiasi pusara
biar kau tahu kini perjuanganmu telah mengeras jadi batu

aku masih disini: sama sepertimu yang masih disana
tidak berpindah dan tetap memilih menjadi batu tapal perjuangan hak
menyala terang dalam malam; kelak

sebelum lewat hari, lalu orang-orang sibuk lagi
aku kirim doa; lengkap dengan palungku di atas kepala
kami masih terus mengingat, terus berbuat—berjuang seperti halnya dirimu; aminkan terus doa kami.

---
Ambon, 7 September 2011
(terinspirasi dari twit @sepedamalam: anak-anak yang melawan Negara; bukanlah anak-anak yang murtad terhadap bangsanya dan di bacakan dalam peringatan 7 Tahun “Mengenang Munir, Menolak Lupa” @ Moluccas Democratization Watch  - Ambon)



1 komentar:

Dwi Wahyudi mengatakan...

Mantap sekali tulisannya bro, mengingatkanku akan kisah gugurnya seorang aktivis yang harus membayar mahal idealisme demi sebuah kebenaran.

Posting Komentar