Mati di Laut

Bisakah kita bicara disaat-saat seperti ini
Ketika angin bertiup dari mana-mana dan aku tak mampu menghalau. Rindu
Aku melihat jutaan kilatan tanda panah mengapung di lautan
Menuntunku pulang ke satu-satunya dermaga yang aku tuju. Ingatan tentangmu.

Aku kini sudah pergi
Meninggalkan dunia yang berselisih
Orang-orang pintar yang saling serang
Orang-orang setengah pintar yang gemar bergunjing
Juga mereka yang tidak masuk kedalam hitungan keduanya. Yang hanya bisa saling sikut, saling tendang

Bisakah kita bicara disaat-saat seperti ini
Ketika langit mulai diliputi gelap dan aku gagap bernyanyi. Merdu
Aku menyaksikan ratusan camar terbang rendah
Mengajarkan aku perihal bersyukur. Masih sempat menjilat sumpah serapah

Aku kini sudah jauh
Melewati batas gelombang radio. Keluar tanpa membawa TV apalagi surat kabar
Juga aturan-aturan. Segala kepatutan yang harus dibayar lunas diatas tanah tempat bendera berkibar
Dalam telanjang aku nelangsa. Dadaku bergetar.

Bisakah kita bertemu disaat-saat seperti ini
Ketika aku lebih banyak bicara sendiri dan berkaca pada mata. Waktu
Namun bila tidak. Akan aku titip sebuah pesan untukmu bersama ombak yang bergulung ke pesisir
Bertemu denganmu, mencium kakimu. Menjilati kuku-kuku lentikmu

Dari atas palka kapal aku bersaksi
Sudah kutulis namamu. Lengkap beserta irisan senyum khasmu di batu-batu karang
Biar dihempas ombak. Ombak yang sebelumnya sudah kucampurkan dengan satu tetes air matamu
Mulutku kaku tak lagi bisa mengucap mantra. Hanya doa kecil yang bisa aku ucap hampir malam itu. Dalam namamu.

Bila sudah tiba musim timur.
Tunggu aku dipesisir. tempat dimana bayanganmu bisa membelah lautku
Pesanku akan tiba padamu
Sepucuk surat berisi tanya jawab yang tertulis di tangan akan bicara padamu:
Beta sudah sudah pulang bertemu maut. Ketika itu kita sudah tiada lagi bisa berpaut.
Beta mati di laut.