Dalam Doa Bapa Kami

dalam doa bapa kami
bicara kepada anak-anaknya
perihal taman bunga, operihal mata-mata air susu. keluar dari batu-batu. kelopaknya warna-warni, mengalir turun ke samudra

dalam doa bapa kami
berpesan kepada anak-anaknya
ketamakan itu berbuah sengsara. sedang kesabaran itu lebih dari apapun. keduanya berperang, tentukanlah yang mana yang harus jadi pemenang

dalam doa bapa kami
berhitung sebab akibat kepada anak-anaknya
hiduo di dunia adalah hukuman. jangan beratkan hukuman kemudian dengan menambah dosa. berbuatlah kebaikan dan pandai-pandailah bersyukur

dalam doa bapak kami
beroleh selamat (semoga) kepada anak-anaknya
amin

Aku ingin mati di pantai

sayangku. aku lahir di pantai
tempat ribuan ombak pecah di karang setiap hari
tempat laut bitu berubah keemesan . lalu kemudian hitam

di pantai. alam bernyanyi
tifa dan gitar bergetar di dalam angin
melantunkan puji-pujian sepanjang waktu

aku selalu mabuk
lupa diri. tidur di atas pasir
lalu anjing-anjing datang membangunkanku
menjilati kaki-kaki. matahari sudah pulang ketika itu

sayangku. aku ingin mati di pantai
dikubur hanyut ke dilautan yang sunyi
tempat dimana aku pernah datang
tempat dimana aku akan pulang

aku ingin menari dan bernyanyi. sayang
tanpa apa-apa kecuali doa-doa
aku ingin mandi matahari. sayang
lalu tidur. lalu mati. lalu
   sudah

Bukan Sepi. Sepi

Aku tidak akan pulang kerumah. Ketika riuh.
Aku tidak akan kembali ke dalam pelukan. Ketika banyak mata tertuju padamu
Aku ingin sepi-sepi.
Menyalakan api dan menghangatkan tubuhku sampai tiba saat dirimu pantas kembali. Padaku.

Ilalang terbakar. Ketika itu aku duduk di pojokan.
Menukar rasa cinta yang sukar. Aku tidur di kaki malam. Melupa diri. Mabuk sendiri.

Bila malam pulang. Pagi datang. Dan aku masih disini. Jangan cari
Aku bisa kembali pergi
Menabung kerinduan
Mengusir dingin dengan matahari yang bisa membakar ubun-ubun. Lalu aku lari. Lagi.

Sayangku. Ini sajakku.
Sajak kejujuranku.
Sajak yang sejak lama sudah tertimbun. Lalu menguap kembali ke udara bersama hari.

Aku mau sepi sayang. bersamamu.
Atau sepi sendiri jua. Tak akan mengapa.

Kepada BS

Temukan aku. Di tempat biasa.
Tempat dimana semua sama adanya.

Temen. Kau tau aku benci terang. Aku benci lampu-lampu putih.
Maka temukan aku di tempat biasa. Tempat kita duduk dan berbagi rupa-rupa cerita

Teman. Bila kau lupa
Ingat aku. Aku yang duduk disamping atau dihadapanmu.
Menyulang kepedihan dan menelan keperihan.
Di emper. Di parkiran

Aku yakin kau akan selalu teringat.
Temukan aku. Di tempat biasa.

Menolak Lupa



aku duduk di beranda; jam 7 malam itu
berfikir tentang banyak hal; lebih banyak tentangmu
tentang masa-masa silam—hari-hari suram; kemarin

pewarta bercerita banyak tentang kenang-kenangan
sedang angin masih bawa terbang kabar data dan fakta
aku mengingatmu; bersama kengiluan yang di torehkan dalam kisah pemimpin-pemimpin kita yang lalim

binasa; jasad sudah jadi abu
tapi air mata darah perjuangan yang mana yang bisa dilupa
aku menolak puji-pujian yang aku pikir pantas untuk di berikan untukmu
sebab mungkin dirimupun tidak pernah menginginkan itu

aku tulis pesan dari depan pintu; jam 7 malam itu
tepat 7 tahun; parodi kekuasaan itu memenjarakan tubuhmu
kematian boleh peroleh kisah yang sudah
tapi semangat bisa menjalar kemana-mana—keringatmu sudah tumpah, sudah merembes ke tanah

ini adalah pesanku, penolakan atas lupa
penolakan atas pengingkaran janji-janji palsu
lalu tidak akan aku kirim rangkaian bunga untuk mengiasi pusara
biar kau tahu kini perjuanganmu telah mengeras jadi batu

aku masih disini: sama sepertimu yang masih disana
tidak berpindah dan tetap memilih menjadi batu tapal perjuangan hak
menyala terang dalam malam; kelak

sebelum lewat hari, lalu orang-orang sibuk lagi
aku kirim doa; lengkap dengan palungku di atas kepala
kami masih terus mengingat, terus berbuat—berjuang seperti halnya dirimu; aminkan terus doa kami.

---
Ambon, 7 September 2011
(terinspirasi dari twit @sepedamalam: anak-anak yang melawan Negara; bukanlah anak-anak yang murtad terhadap bangsanya dan di bacakan dalam peringatan 7 Tahun “Mengenang Munir, Menolak Lupa” @ Moluccas Democratization Watch  - Ambon)



Doa untuk tanah yang manis


Oleh Rudi Fofid

Dari teluk sampai ke gunung, Tuhan, inilah Amboina,
Kota yang Kau bangun dengan jari-jari tangan-Mu sendiri. 
Tanahnya teramat manis seperti ranumnya buah-buah pala,
Wangi bagaikan  cuaca musim panen, bunga-bunga cengkih

Sioh, tanah Ambon adalah rahim ibu kandungku,
Sungai-sungai tak pernah berhenti mengalirkan air susu. 
Kami selalu  mendesahkan nafas menjadi banyak lagu.
Karena ada arus laut, embun jatuh dan angin sibu-sibu

O, kami mau menari di bandar, cakalele di bawah angin
Biarkan kami berlayar di atas ombak yang berdebar-debar
Kami mau kalahkan luasnya laut yang terkadang penuh misteri
Sebagaimana moyang kami selalu pulang mengibarkan bendera

Maka kumohon Tuhan, mari pukul tifa rebana dengan nyong-nyong Ambon, 
Tersenyumlah bagi nona-nona penari lenso, gendong anak-anak zaman
Lambaikan tangan kepada ama-ama dan ina-ina kaeng kabaya
Biarkan saja kami terharu dan air mata tumpah karena cinta

Tuhan, rembulan dan matahari dari Leitimur Selatan ke Tanjung Alang
Cahayanya menjadi bidadari, turun mandi di air teluk yang gilang-gemilang
Sioh, jangan ambil pesona itu dari lembah-lembah dan gunung-gunung
Sebab bunga akan layu, andarinyo menangis, ikan dan udang mengambang

Maka kuduskanlah mesbah Ambon dengan percikan hujanmu dari langit
Supaya terberkatilah Upulatu kota bersama saniri-saniri yang bijak berperi 
Kewang  perkasa di darat dan laut, kapitan berhati baja kabaresi
Maueng kami yang agung, dan marinyo yang bergerak menembus tiap hati

Kami sekarang ada dalam lingkaran kaeng gandong yang suci murni
Melingkar pulau melingkar kota melingkar negeri
Melingkar baileo, melingkar paparisa
Melingkar jiwa raga, melingkar jantung hati

Tuhan, biarkan kami bermimpi tentang negeri damai, kota untuk semua orang
Kami bisa minum kopi dengan nikmat, tiada peduli pada suara burung  hantu
Anak-anak berlari di hamparan  pasir dan karang,
dan terus melaju sebagai tombak menembus masa depan

0, sang timur, beri kami tahun-tahun terang yang takan redup dan padam
Supaya kami selalu melangkah di jalan-jalan cahaya yang Kau kehendaki
dan dari kemuliaan-Mu di atas sana, Kau bisa tersenyum melihat ke bawah
sebuah kota laut biru dengan keindahan yang lebih sastrawi dari beribu puisi,

Dari teluk sampai ke gunung, Tuhan, inilah Amboina,
Kami percaya pada kerahimanmu yang tiada punya batas
Jagalah kami seperti Engkau menjaga biji mata-Mu sendiri
Supaya  kami beroleh selamat,  di tanah yang begini surgawi

Ambon, September 2011

(* ini adalah puisi yang saya bacakan sebagai doa ulang tahun kota Ambon yang ke 463 Tahun malam tadi)




Beta Sudah Mati

Beta sudah mati di bibir natsepa;
Setelah meneguk manisnya nestapa;
Yang diseduh dalam air kelapa muda;
Bersama bening air mata mama-mama kebaya;

Beta bilang beta cinta mati;
Tidak pernah ingin mengungkit sakit hati;
Setelah darah semata kaki;
Lalu sempat berpikir; beta harus pergi;

Beta hidup lagi; mengingkari matahari;
Berdiri di rumah-rumah gunung yang awannya bergulung;
Beta bakar baju berkabung;
Buang sarung; undang pombo datang bawa pergi janji;

Beta sudah mati; lalu hidup lagi; Beta tidak bisa pergi; Melupa negeri;
Laut biru berubah jadi merah darahpun jadi;